Bagikan:

OJK DIY Terima 194 Pengaduan Korban Fintech Ilegal Sepanjang 2024

Menurut Eko, para korban fintech ilegal sebagian besar berasal dari wilayah DIY, meskipun lokasi spesifik mereka sulit terdeteksi.

NASIONAL

Kamis, 19 Des 2024 16:39 WIB

Author

Ken Fitriani

OJK

Orang muda menunjukkan sejumlah uang tunai. OJK mencatat, generasi Z dan milenial mendominasi penundaan pembayaran utang pinjol.(FOTO: ANTARA/Aji Styawan)

KBR, Yogyakarta– Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencatat sebanyak 194 pengaduan terkait korban fintech ilegal sepanjang periode Januari hingga 13 Desember 2024.

Kepala OJK DIY, Eko Yunianto menjelaskan mayoritas pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan praktik intimidasi dalam penagihan yang dilakukan oleh perusahaan fintech ilegal.

"194 fintech lending yang ilegal. Banyak memang, tapi kalau dilihat dari sisi kerugiannya selama ini memang nggak pernah menyampaikan. Jadi selama ini dia hanya melakukan pengaduan bahwa dia misalkan punya pinjamam atau ditagih secara intimidasi oleh perusahaan ini. Ternyata setelah dicek adalah perusahaan fintech yang ilegal," katanya dalam konferensi pers Kinerja Triwulan III Tahun 2024 di Yogyakarta, Selasa (17/12/2024) sore.

Menurut Eko, para korban fintech ilegal sebagian besar berasal dari wilayah DIY, meskipun lokasi spesifik mereka sulit terdeteksi.

"Tidak terdeteksi daerahnya, Yogya semua. Yang jelas mereka dari wilayah sini, apakah mungkin KTP-nya dari Yogya atau tidak kita juga nggak tahu," tambahnya.

Menanggapi fenomena ini, OJK DIY berencana meningkatkan edukasi kepada masyarakat secara masif untuk memberikan pemahaman mengenai bahaya fintech ilegal.

"Perkembangan judi online dan pinjaman online, kemudian fintech peer-to-peer yang ilegal kan saat ini masih sangat marak ya. Kemarin juga kalau kita lihat itu ada pemberitaan sekeluarga bunuh diri karena ditengarai disebabkan oleh pinjol, ini kan kita juga sangat prihatin," ujar Eko.

Ia menegaskan pentingnya memastikan penggunaan fintech legal yang telah diatur dan diawasi oleh OJK.

Eko juga menjelaskan bahwa fintech legal memiliki regulasi yang ketat sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Aturan tersebut mencakup tata cara penagihan dan skema bunga pinjaman.

"Kalau perusahaan ilegal itu menagihnya dengan ancaman dan intimidasi. Tapi kalau perusahaan yang legal itu, di POJK mengatur penagihan yang dilakukan oleh industri jasa keuangan yang berizin dari OJK harus memenuhi kriteria. Salah satunya, penagihan itu harus punya sertifikasi, tata cara penagihan juga diatur mulai dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam dan hanya boleh dilakukan di hari kerja," jelasnya.

Selain itu, Eko mengatakan suku bunga fintech legal juga telah diatur, dengan kisaran 0,1 hingga 0,2 persen per hari jika terjadi keterlambatan pembayaran. Menurutnya, fintech legal hanya diperbolehkan mengakses tiga fitur perangkat peminjam, yaitu kamera, mikrofon, dan lokasi. Berbeda dengan fintech ilegal yang sering menyalahgunakan akses data, seperti buku telepon, sehingga memunculkan ancaman dan mempermalukan korban.

Eko juga mengingatkan masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memanfaatkan pinjaman online, mengingat tingginya risiko bunga dibandingkan dengan pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan lain.

"Ini perlu kita ingatkan lagi ke masyarakat kalau yang namanya pinjam ke pinjol itu memang suatu kemudahan, fasilitas yang bisa diberikan oleh institusi dalam hal kemudahan, kecepatan. Tapi yang perlu diingat, ya tadi ada resikonya di sana. Risikonya apa? Tentunya dari resiko suku bunganya, kita bicara terkait pinjol yang legal dulu ya. Dari suku bunganya pasti lebih tinggi dibandingkan kalau dia pinjam di perbankan misalnya, atau di pusat pembiayaan, pegadaian, PNM. Itu kan pasti lebih murah dibanding pinjam di pinjol tadi," imbuhnya.

Eko menambahkan, baru-baru ini OJK telah meluncurkan Indonesia Anti Scam Center (IASC) untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan jasa keuangan. Hal ini sebagai upaya OJK bersama Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (PASTI) untuk meminimalisir penipuanan-penipuan yang dilakukan oleh perbankan melalui transaksi.

"Itu bisa dilakukan secepat mungkin tindakannya. Terkait dengan apa? Terkait dengan pemblokiran sehingga masyarakat yang tadinya minta pemblokiran syaratnya harus lapor ke polisi dulu, syaratnya macam-macam, butuh waktu, ternyata ketika surat keluar dan dilakukan pemblokiran ternyata rekeningnya sudah tidak ada," imbuhnya.

"Ini kan banyak kejadian seperti itu. Nah, paling tidak dengan adanya IASC tadi bisa membantu masyarakat yang terkena tipu. Tapi harapan kita ya jangan banyak masyarakat yang kena tipu. Artinya kalau sampai kejadian ketipu bisa segera dilakukan aksi untuk pemblokiran," pungkasnya.

Baca juga:
Generasi Z dan Milenial Dominasi Pinjol, Akibat FOMO?

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending