Bagikan:

Mendesak Ambisi Kuat Global Atasi Polusi Plastik

Bayangkan kalau konsumsi plastiknya mau naik dua-tiga kali lipat maka konsumsi mikroplastik yang ada dalam tubuh manusia Indonesia ya dua-tiga kali lipat juga

NASIONAL

Rabu, 18 Des 2024 11:22 WIB

Author

Aika Renata

Mendesak Ambisi Kuat Global Atasi Polusi Plastik

Penyelenggaraan INC-5 di Busan, Korea Selatan. FOTO: AZWI

KBR, Jakarta - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mendesak agar negara-negara di dunia menyepakati target lebih ambisius demi mengakhiri pencemaran plastik. Desakan ini untuk menyongsong perundingan tambahan antarnegara (Intergovernmental Negotiating Committee/INC-5.2) yang akan digelar Juni 2025. Di perundingan sebelumnya INC-5 di Busan, Korea Selatan, pada 25 November-1 Desember 2024, forum dunia gagal menyepakati perjanjian tentang plastik (plastics treaty).

Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation, perwakilan AZWI, mengatakan, kesepakatan di tingkat global akan memberi tekanan ke Indonesia agar ikut berkomitmen mengatasi sampah plastik.

"Aku enggak bisa berharap banyak Indonesia bakal lebih vokal, udah telat banget. Tapi, kita berharap supaya negara-negara lain yang ambisius bisa mendorong meaningful global control measures. Jadi, jangan fokus ke national action plans, karena aku yakin Indonesia tidak akan melakukan apapun, it has to be global," kata Yuyun, saat media briefing "Kabar dari Busan, INC-5 Plastic Treaty" yang digelar di Jakarta, Rabu (11/12).

Negosiasi tambahan INC-5.2 diharapkan bisa jadi momentum bagi Indonesia mengkaji ulang kebijakan nasional terkait plastik. Misalnya, yang tertera di Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

"RIPIN itu dibikinnya 2015. Tanpa mempertimbangkan bagaimana 20 tahun lagi demand atas plastik. Bahasanya industri banget, ingin menjadi raja polyethylene di Asia Tenggara 2030," ujar Yuyun.

Yuyun juga menekankan pentingnya transparansi data dan pelabelan produk plastik yang mengandung bahan kimia. Sektor prioritas yang wajib bebas dari polusi plastik, harus diberi perhatian khusus. Di antaranya, sektor pangan dan minuman, serta produk dan mainan anak. Bahan kimia plastik beracun harus dihilangkan dari rantai pasokan sektor-sektor tersebut.

"Hal ini bisa membantu ekonomi sirkular atau toxic free circular economy. Karena kalau mengandung chemicals of concern (senyawa berbahaya), maka harus dieliminasi," imbuhnya.

Sikap problematis


AZWI mengkritisi sikap Indonesia yang kurang ambisius di negosiasi putaran kelima INC-5 di Busan. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Wakil Menteri Lingkungan menyampaikan berbagai klausul yang dinilai problematis.

Juru Kampanye WALHI Nasional, Abdul Ghofar, perwakilan AZWI, menyebut Indonesia terkesan permisif terhadap industri plastik. Sebab, yang diusung adalah prinsip Common but Differentiated Responsibilities (CBDR), yakni, semua negara bertanggung jawab mengatasi kerusakan lingkungan, tetapi bentuknya tidak sama, karena disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing negara.

"Ini bisa dimaknai, kalau Indonesia mau nambah pabrik petrokimia, mau menggunakan minyak bumi jadi produk turunan plastik, dan lain sebagainya, itu masih dimungkinkan," kata Ghofar.

Pernyataan delegasi Indonesia di Busan justru terkesan condong ke industri, dengan mendorong peningkatan produksi plastik untuk kepentingan kebutuhan dalam negeri. Sikap ini menunjukkan keberpihakan yang lemah terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan.

“Terus (pemerintah) bilang kita ini negara berkembang yang konsumsi plastiknya terendah di dunia. Kalau mau jadi negara maju, konsumsi plastik harus tinggi dong. Jadi, kayak anggapannya kemajuan satu negara itu diukur dari konsumsi plastik per kapita. Bayangkan kalau konsumsi plastiknya mau naik dua-tiga kali lipat maka konsumsi mikroplastik yang ada dalam tubuh manusia Indonesia ya dua-tiga kali lipat juga,” kata dia.

Baca juga:

Klausul lain yang juga disorot adalah tiga situasi yang dikecualikan dari pengaturan siklus hidup plastik, yakni tanggap darurat bencana alam dan penggunaan produk kesehatan masyarakat, penelitian ilmiah dan eksperimental, serta keamanan nasional.

"Ini ambigu. Apa maksudnya demi national security? Kelihatannya kuat, tapi enggak kuat-kuat amat posisi Indonesia di ruang lingkup perjanjian," Ghofar menekankan.

Banyak istilah atau konsep yang digunakan dengan definisi yang belum jelas, sehingga bisa memunculkan makna ganda, misalnya keberlanjutan produk plastik dan sirkularitas plastik.

Ghofar bilang, mestinya Indonesia fokus pada solusi-solusi yang lebih progresif.

“Pendekatan ekonomi sirkular itu ya pencegahan sampah termasuk juga mendorong ekosistem guna ulang ketimbang menyinggung, terutama recycling yang cukup problematis, angkanya rendah, apalagi pemanfaatan limbah jadinya bisa dimaknai, pembakaran sampah plastik sebagai praktik yang bagian sirkular itu,” tegas Ghofar.

Masif pelobi industri


Nindhita Proboretno, Co-Coordinator AZWI sekaligus Manager Toxics Program Nexus3 Foundation, menyayangkan minimnya transparansi dan keterlibatan masyarakat sipil dalam INC-5 di Busan. Nindhita hadir di sana sebagai observer.

"INC kemarin the worst ever pelaksanaannya. Pembatasan terhadap partisipasi kami sangat parah. Kita enggak bisa masuk ke ruangan (negosiasi) karena kecil dan sebagainya. Observer efektif di dalam ruangan hanya dua hari. Di hari pertama dan kedua itu cuma setengah hari,” papar Nindhi.

Selain kalangan masyarakat sipil, observer juga terdiri dari media dan asosiasi industri. Banyak pelobi industri dari negara-negara produsen plastik yang hadir, sehingga menghambat kemajuan perundingan plastik. Alhasil, butuh negosiasi tambahan INC-5.2 yang akan dihelat pada 2025.

“Banyak sekali pelobi dari industri fosil. Bahkan kemarin ada yang duduk teman kita itu, kiri-kanan depannya orang industri semua,” kata dia.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending