KBR, Jakarta- Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan seorang penyandang disabilitas bernama I Wayan Agus Suartama terus mendapat sorotan publik dan viral di media sosial. Sebab seorang dengan disabilitas, yaitu tidak memiliki tangan, ternyata ia bisa melakukan tindakan tersebut.
Polisi menetapkan Wayan Agus sebagai tesangka dugaan pelecehan seksual, termasuk terhadap anak-anak. Ia diduga memanfaatkan kondisi keterbatasan fisiknya untuk memanipulasi korban. Temuan sementara polisi menyebut, Wayan Agus menggunakan ancaman dan manipulasi psikologis untuk memaksa korban tunduk.
Kasus ini memicu pertanyaan tentang pemahaman masyarakat terhadap disabilitas dan pentingnya penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
Sebuah organisasi yang fokus pada isu disabilitas, Mitra Netra meminta agar kasus hukum dugaan pelecehan oleh disabilitas tuna daksa, bernama Agus Suartama harus dilihat dari sudut pandang hukum yang berlaku bagi penyandang disabilitas.
Juru bicara Mitra Netra, Aria Indrawati mengatakan, peraturan itu berisi bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas, termasuk dalam proses hukum.
"Jadi kalau terkait dengan penyandang disabilitas pertama segala sesuatunya harus kita rujukan ke Undang-Undang 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas,di situ ada BAB yang mengatur tentang bagaimana pemenuhan hak warga negara disabilitas di bidang hukum. Di dalam BAB 4 itu ada satu BAB yang mengatur tentang itu. Lalu ada juga aturan pelaksananya berupa PP yang terkait dengan pemenuhan akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas yang berproses hukum. Nah itu harus dipenuhi sebagai apapun," ucap Aria kepada KBR, Kamis, (12/12/2024).
Aria Indrawati menegaskan, salah satu poin penting yang perlu diperhatikan adalah pemenuhan hak-hak tersangka sebagai penyandang disabilitas. Ini berarti bahwa proses hukum yang dijalaninya harus mengakomodasi kebutuhan khusus yang dimilikinya. Hal ini mencakup penyediaan fasilitas yang memadai, penggunaan bahasa yang mudah dipahami, serta waktu pemeriksaan yang cukup.
"Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, hak-haknya sebagai warga negara, khususnya sebagai penyandang disabilitas, tetap harus dijamin," tegas Aria.
"Misalnya, jika tersangka memiliki keterbatasan fisik, maka proses pemeriksaan dan persidangan harus disesuaikan agar tidak merugikan dirinya," tambah Aria.
Baca juga:
Meski begitu, Aria mengingatkan, tindakan kriminal tetaplah tindakan kriminal, terlepas dari status seseorang. Proses hukum harus tetap berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, dan pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Jadi intinya haknya dipenuhi saja gitu bahwa nggak mungkin penyandang disabilitas enggak melakukan kejahatan, mestinya hukum itu berproses dalam kasus tersebut. Nanti itu dibuktikan saja di dalam proses peradilannya pemeriksaan dan peradilannya gitu ya. Jadi kita tidak boleh menggunakan asumsi apalagi korbannya kan enggak sedikit gitu 15 orang itu banyak," tegas Aria.
Stigmatisasi
Aria menambahkan, kasus ini juga menyoroti pentingnya peran media dalam menyajikan berita. Aria menyayangkan adanya media yang menggunakan istilah-istilah yang stigmatis terhadap penyandang disabilitas seperti penyebutan "Agus buntung."
"Saya tidak sepakat itu kalau media ikut-ikt menyebut Agus buntung. Agus aja, nama lengkapnya siapa. Kan itu bagian dari bentuk penghargaan kita pada sesama manusia kan, siapapun dia gitu untuk mencegah tidak jadi stigmatisasi kepada kelompok disabilitas," ujarnya.
Untuk mencegah terjadinya stigmatisasi, Aria mengimbau masyarakat memahami bahwa disabilitas adalah bagian dari keberagaman manusia. Dengan demikian, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang inklusif bagi semua orang, tanpa memandang perbedaan.
"Kita harus menunjukkan pada masyarakat tadi ya, mengajarkan pada masyarakat bahwa, satu, disabilitas itu bagian dari keragaman manusia, keragaman itu kan bermacam-macam suku, ada karena warna kulit, apalagi rambutnya, tinggi-mini gitu ya, manusia mini dan ada penyandang disabilitas. Ketika kita sudah bisa memahami bahwa disabilitas bagian dari keragaman manusia, ayo gitu kita melihat dia sebagai manusia jangan distigma," tegas Aria.
Proses hukum
Kemarin Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) menggelar rekonstruksi dugaan kasus pelecehan seksual WAS atau Agus disabilitas. Ada 49 adegan dalam rekonstruksi tersebut. Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Syarif Hidayat mengatakan rekonstruksi dilakukan di tiga lokasi berdasarkan keterangan korban dan pelaku.
"Di dalam BAP sebenarnya ada 28 adegan yang tertuang di BAP yang kita skenariokan. Tetapi yang berkembang di lapangan ada 49 adegan. Hal ini disampaikan karena ada perkembangan perbuatan yang dilakukan oleh tersangka di lapangan," kata Syarif di Kota Mataram, Rabu (11/12/2024).
Sementara itu, Ketua Tim pengacara Agus disabilitas, Aminuddin membantah tuduhan kasus pelecehan seksual terhadap Agus. Ia mengeklaim hubungan antara pelaku dan korban, terjadi atas dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Hal itu ia sampaikan usai mendampingi Agus dalam rekonstruksi di Mataram kemarin. Menurut Aminuddin, selama proses rekonstruksi, tidak ada paksaan dari tim pengacara maupun pihak kepolisian. Kata dia, dalam rekonstruksi oleh tersangka terungkap adanya keterangan yang berseberangan antara korban dan tersangka.
"Ini adalah suatu keterangan yang kita semua bisa langsung liat apa yang disampaikan Agus. 49 seperti apa yang disampaikan tadi, yang awalnya yang aktif itu adalah tersangka. Namun tadi apa yang sudah kami dengarkan dan kami lihat, itu yang aktif itu adalah pihak korban," kata Aminuddin di Kota Mataram, Rabu (11/12/2024).