Bagikan:

(QnA) Fenomena No Viral No Justice, Bukti Kegagalan Reformasi Polri

"Waktu 25 tahun reformasi sudah cukup untuk melakukan langkah dan evaluasi di kepolisian."

NASIONAL

Rabu, 18 Des 2024 15:22 WIB

(QnA) Fenomena No Viral No Justice, Bukti Kegagalan Reformasi Polri

Ilustrasi: Demo solidaritas kasus penembakan siswa SMKN di depan Polda Jateng, Kota Semarang, Kamis, (28/11/24). (Antara/Aji Styawan)

KBR, Jakarta- Pengamat kepolisian menilai perlu ada ada kemauan politik dari Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Polri yang profesional.

Penilaian ini disampaikan Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menanggapi fenomena "no viral no justice" atau viral dulu baru mendapat keadilan di tengah masyarakat.

Menurutnya, fenomena ini cermin kegagalan reformasi di tubuh Polri. Ia menyoroti lemahnya pengawasan internal, kurangnya transparansi, dan dominasi kepentingan pribadi di tubuh kepolisian.

Selengkapnya simak wawancara jurnalis KBR Hoirunnisa dengan Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, berikut ini:

KBR: Dari analisis Anda apa akar masalah dari lambatnya penanganan kasus, atau ada permasalahan kultural di instansi (Polri)?

ISESS: Tekanan masyarakat dengan no viral no justice memang saat ini jamak terjadi dan ini tidak benar dan menunjukkan tidak profesional polisi kepada masyarakat. Mengapa no viral no justice menjadi pilihan masyarakat? Sebab masyarakat tidak mempunyai pilihan saluran pengaduan yang bisa dipercaya. Makanya masyarakat lebih memilih lewat medsos. Dan itu terbukti ampuh karena ada tekanan. Kultur professional belum terbentuk, upaya membangun kepolisian yang profesional jauh dan hanya jargon. Ini problem sistemik. Ini menyangkut banyak hal, mulai dari meritokrasi di kepolisian kemudian lebihnya kontrol dan pengawasan dan lebih besar lagi terkait mentalitas personel. Kepolisian memiliki mekanisme SP2HP, tapi ini ternyata masih jauh dari harapan masyarakat. Karena ini masih relatif normatif dan prosedural, kalau pelapor gak minta enggak dikasih oleh penyidik.

KBR: Apa langkah konkret yang bisa dilakukan kepolisian untuk mereformasi institusi?

ISESS: Waktu 25 tahun reformasi sudah cukup untuk melakukan langkah dan evaluasi di kepolisian. Faktanya semakin menjauh dari harapan reformasi. Harus ada political will seperti dari presiden. Sehingga reformasi kelembagaan dll, itu benar-benar terbenahkan. Karena internal Polri lebih banyak yang memilih status quo nyaman dibandingkan untuk membangun kepolisian yang lebih profesional. Kontrol dan pengawasan itu dilakukan oleh internal dan eksternal. Tetapi faktanya, sejauh ini pengawasan sangat tidak efektif, terlihat masih banyaknya laporan dari masyarakat. Pengawasan eksternal kita belum memiliki kewenangan seperti Kompolnas yang tidak diberikan wewenang yang kuat. Cenderungnya malah jadi juru bicara kepolisian.

Kritik dari DPR

Sebelumnya, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi Golkar, Rikwanto mengkritik lambannya polisi mengungkap berbagai kasus. Padahal kata dia, sejumlah kasus itu tergolong jelas perbuatannya karena sudah ada bukti, korban terluka, bahkan ada video kejadian yang merekam aksi pidana tersebut.

Rikwanto mencontohkan kasus penganiayaan pegawai toko roti. Ia menilai, kinerja Polres Jakarta Timur dalam mengusut kasus itu termasuk lambat. Sebab, laporan sudah masuk ke polisi 18 Oktober 2024, namun petugas baru menangkap anak bos toko roti berinisial GSH, 16 Desember 2024.

Dari situ, ia meminta, polisi mesti lebih tanggap terhadap laporan masyarakat, tanpa harus menunggu kasus jadi viral di media baru bergerak cepat.

"Apa viral dulu kemudian cepat gerakannya? Ini juga menjadi pelajaran bagi kepolisian di tempat-tempat yang lain. Apa pun kasusnya, siapapun pelapornya itu perlakuannya sama di muka hukum. Polri dibiayai negara, diberi kewenangan, dikasih perlengkapan untuk penegakkan hukum siapapun yang bermasalah dengan hukum, tidak pilih-pilih, kerjakan itu," ucapnya saat rapat dengar pendapat di Komisi Hukum DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (17/12/2024).

Baca juga:

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending