KBR, Jakarta- Pakar Hukum Tata Negara, Susi Dwi Harijanti mengatakan tidak setuju dengan mekanisme “konfirmasi” dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi. Menurut dia hal tersebut membuat hakim konstitusi kehilangan independensi secara personal lantaran mereka seolah “dievaluasi” oleh lembaga pengusul jika ingin memperpanjang jabatan.
Aturan tersebut yang ada di Pasal 87 huruf a draf RUU MK mengatur, hakim konstitusi yang telah menduduki jabatan selama lebih dari 5 tahun dan kurang dari 10 tahun harus mendapatkan konfirmasi dari lembaga pengusul apabila hendak melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun.
“Saya tetap tidak setuju dengan yang namanya mekanisme “konfirmasi”, mekanisme itu bisa dijadikan pintu masuk untuk mengganti (hakim konstitusi) karena itu kan seolah melakukan evaluasi terhadap hakim yang bersangkutan dan mengevaluasi hakim yang bersangkutan menurut saya itu dapat mengganggu independensi personal hakim dan ini yang harus kita hindarkan,” kata Susi yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran kepada KBR, Selasa (5/12/2023).
Menilik dari pasal tersebut, menurut Susi, menjadi celah untuk pihak lain mengintervensi kekuasaan kehakiman. Padahal, jelas di Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Itu terlihat di Pasal 87 bahwa hakim yang sudah di atas lima tahun tetapi belum 10 tahun maka itu akan ditanyakan ke lembaga pengusul apakah bakal dilanjutkan atau tidak. Sementara di atas 10 tahun tak perlu menanyakan ke lembaga pengusul,” ucapnya.
Susi menilai bahwa revisi UU MK ini tak lepas dari kepentingan politis ke depannya. Sebab menurut dia, sejauh ini lembaga pengusul maupun pembentuk undang-undang hingga kini tidak dapat membuktikan adanya asas kebutuhan atau keperluan dalam merevisi UU MK. Padahal itu asas terpenting ketika membuat rancangan undang-undang.
“Yang dibutuhkan MK dan publik sejatinya adalah hukum acara MK karena hukum acara MK yang di UU MK minim pengaturan, lebih banyak diatur di Peraturan MK, harusnya hukum acara ada di UU,” jelasnya.
Kemudian, Susi menyoroti tidak terbukanya proses revisi UU MK tersebut. Menurut dia, aturan dibentuk dengan memperhatikan asas keterbukaan dan partisipatif, namun dalam prosesnya, dia menilai jauh dari dua asas tersebut.
“Kenapa pembahasannya terburu buru? Apalagi tidak ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tidak partisipatif terkesan tertutup,” katanya.
Susi mengatakan jika memang aturan itu disahkan maka perlu memperhatikan Putusan MK Nomor 81 yakni apabila ada perubahan masa jabatan atau syarat usia maka berlaku untuk hakim baru yang dipilih berdasar UU baru. Jika tidak, abaikan asas keadilan.
“Kita kan enggak tahu ke depannya pada masa setelah DPR masuk reses apa yang terjadi, jadi menurut saya perlu mengakomodasi Putusan MK Nomor 81yang mengatakan apabila ada perubahan maka itu berlaku untuk hakim yang akan datang, bukan hakim yang sekarang sedang menjalankan tugasnya. Memang asas hukum begitu, hukum tidak boleh dinyatakan berlaku surut,” pungkasnya.
Baca juga:
- MK Tolak Gugatan Mahasiswa UNUSIA soal Usia Capres-Cawapres
- Tekad Suhartoyo Bangun Kembali Muruah Mahkamah Konstitusi
Sebelumnya Mahkamah Konstitusi mengatakan, revisi keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi seyogianya bersandar pada putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023. Putusan yang dibacakan pada Rabu (29/11/2023) menyatakan, perubahan ketentuan, baik mengenai masa jabatan maupun syarat usia hakim tidak berlaku untuk hakim yang tengah menjabat. Aturan baru itu diberlakukan untuk hakim yang diangkat berdasarkan undang-undang yang baru.
”Putusan 81 tersebut sudah berlaku mengikat sejak diucapkan kemarin. Sehingga menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang, termasuk revisi undang-undang,” kata Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Editor: Rony Sitanggang