KBR, Jakarta- Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana mengatakan sejak 2019 ada tren culas yang dilakukan DPR dan Pemerintah ketika menyusun peraturan perundang-undangan.
Kata dia, culas yang dimaksud yakni dalam menyusun aturan, lembaga tersebut sembunyi-sembunyi dan juga tidak partisipatif.
“Kenapa saya berani berkata demikian? Tidak ada naskah akademik maupun rancangan undang-undang (RUU) yang bisa diakses secara terbuka, kemudian partisipasi bermakna juga diabaikan meskipun itu sudah tegas, jelas, disebutkan dalam konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 termasuk juga Putusan Mahkamah Konstitusi tentang partisipasi bermakna. Masyarakat itu berhak atas informasi terkait dengan rancangan undang-undangnya, berhak didengar pendapatnya, dan dipertimbangkan pendapatnya tapi itu diabaikan,” kata Arif dalam Diskusi Publik “Memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Internasional” dipantau lewat kanal Youtube Imparsial, Minggu (10/12/2023).
Arif pun menyebut aturan yang disusun secara tidak transparan dan partisipatif seperti UU KPK, UU Minerba, Revisi UU MK, UU Cipta Kerja, dan UU 0mnibus Law Kesehatan.
Baca juga:
- MK Tolak Gugatan Mahasiswa UNUSIA soal Usia Capres-Cawapres
- Tekad Suhartoyo Bangun Kembali Muruah Mahkamah Konstitusi
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana mengatakan aturan dibuat untuk kepentingan pemilik modal.
“Yang terjadi hari ini banyak legislasi lahir bukan untuk kepentingan rakyat, melindungi ham warga negara, tapi untuk kepentingan elit, oligarki, kepentingan modal dan yang mengerikan adalah untuk mewujudkan itu undang-undang bisa diakali bahkan aparat negara yang mestinya mengayomi, melindungi rakyat digunakan untuk melakukan kekerasan ke rakyatnya sendiri,” ujarnya.Pengerahan aparat itu, lanjut Arif, terjadi di sejumlah konflik agraria seperti kasus Rempang, Seruyan, Wadas dan Pakel.
“Mereka yang membela haknya, membela lingkungannya justru dikriminalisasi,” ucapnya.
Editor: Rony Sitanggang