Bagikan:

Ini Alasan YLBHI Tuding Penyusun Undang-undang Culas

"Legislasi lahir bukan untuk kepentingan rakyat, melindungi ham warga negara, tapi untuk kepentingan elit, oligarki, kepentingan modal'

NASIONAL

Senin, 11 Des 2023 08:17 WIB

Penyusunan undang-undang berpihak pada oligarki

Ilustrasi: Aksi buruh tolak omnibus law. (Antara)

KBR, Jakarta-   Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),  Arif Maulana mengatakan sejak 2019 ada tren culas yang dilakukan DPR dan Pemerintah ketika menyusun peraturan perundang-undangan.

Kata dia, culas yang dimaksud yakni dalam menyusun aturan, lembaga tersebut sembunyi-sembunyi dan juga tidak partisipatif.

“Kenapa saya berani berkata demikian? Tidak ada naskah akademik maupun rancangan undang-undang (RUU) yang bisa diakses secara terbuka, kemudian partisipasi bermakna juga diabaikan meskipun itu sudah tegas, jelas, disebutkan dalam konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 termasuk juga Putusan Mahkamah Konstitusi tentang partisipasi bermakna. Masyarakat itu berhak atas informasi terkait dengan rancangan undang-undangnya, berhak didengar pendapatnya, dan dipertimbangkan pendapatnya tapi itu diabaikan,” kata Arif dalam Diskusi Publik “Memperingati Hari Antikorupsi dan Hari HAM Internasional” dipantau lewat kanal Youtube Imparsial, Minggu (10/12/2023).

Arif pun menyebut aturan yang disusun secara tidak transparan dan partisipatif seperti UU KPK, UU Minerba, Revisi UU MK, UU Cipta Kerja, dan UU 0mnibus Law Kesehatan.

Baca juga:

Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan  YLBHI Arif Maulana mengatakan aturan dibuat untuk kepentingan pemilik modal.

“Yang terjadi hari ini banyak legislasi lahir bukan untuk kepentingan rakyat, melindungi ham warga negara, tapi untuk kepentingan elit, oligarki, kepentingan modal dan yang mengerikan adalah untuk mewujudkan itu undang-undang bisa diakali bahkan aparat negara yang mestinya mengayomi, melindungi rakyat digunakan untuk melakukan kekerasan ke rakyatnya sendiri,” ujarnya.

Pengerahan aparat itu, lanjut Arif, terjadi di sejumlah konflik agraria seperti kasus Rempang, Seruyan, Wadas dan Pakel.

“Mereka yang membela haknya, membela lingkungannya justru dikriminalisasi,” ucapnya.


Editor: Rony Sitanggang

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending