KBR68H, Jakarta - Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah menolak besaran subsidi pertanian yang diusulkan negara industri dalam pertemuan tingkat menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali. Negara maju membatasi persentase subsidi pertanian negara berkembang dan miskin diangka 5-10 persen. Ketua SPI, Henry Saragih menilai, kesepakatan itu akan membuat Indonesia mengalami krisis pangan. Dia meminta Indonesia bersikap tegas dalam menyikapi kebijakan pangan demi kedaulatan pangan Indonesia dan tidak bergantung pada negara maju. (Baca: WTO Harus Lindungi Produk Petani dari Negara Berkembang)
“Adalah semakin masif industri-industri pertanian di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit akan semakin meluas, dan akan meluas industri kehutanan, dan akan semakin banyak perusahaan asing yang mengurus pertanian di Indonesia. Misalnya itu di Papua, Kalimantan dan Jawa Barat, sudah ada mereka itu yang disebut dengan Food Estate, ya. Itu akan meluas, jadi perusahaan-perusahaan itu akan menguasai pertanian dan pangan kita. Akan terjadi krisis pangan, dan kemiskinan di pedesaan,” tegas Henry kepada KBR68H, Kamis (05/12).
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mendukung penuh penaikan subsidi pertanian untuk negara berkembang sebesar 15 persen dalam WTO yang tengah berlangsung di Bali hingga Jumat besok. Usulan itu disuarakan negara-negara berkembang, terutama India. Indonesia juga mengusulkan tidak adanya batas waktu yang dibebankan dalam subsidi pertanian tersebut. Sementara negara-negara maju untuk sementara menyepakati angka 15 persen subsidi pertanian, dan berlaku hingga 4 tahun. Menteri Pertanian Suswono berharap keputusan bulat terkait subsidi pertanian dalam pertemuan WTO tersebut. (Baca: SBY: Pertemuan WTO Untungkan Negara Berkembang)
Editor: Damar Fery Ardiyan