KBR68H, Yogyakarta - Juli lalu DPR mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Salah satu hal yang diatur di dalamnya adalah soal peran negara. Pemerintah menyatakan UU Pendidikan Tinggi sengaja diciptakan agar peran negara untuk menjamin akses dan upaya memajukan pendidikan makin pasti. Sejumlah pasal dalam UU ini mengatur ketat soal akses dan pembiayaan pendidikan tinggi serta peningkatan mutunya.
Tapi tetap ada kekhawatiran dari sejumlah kalangan. Ahmad Rizky Umar, Wakil Presiden BEM KM UGM menyebut, UU Pendidikan Tinggi ini justru bertabrakan dengan semangat otonomi. Salah satu contohnya kata dia, dalam hal otonomi keuangan yang akan berbuntut pada mahalnya biaya pendidikan.
“Otonomi dalam pendidikan tinggi bukan otonomi soal keuangan tapi kebebasan akademik. Ini jadi persoalan. Kalau otonomi diberikan dalam hal keuangan akan memberatkan masyarakat. Masalah biaya pendidikan yang dibebaskan pada mahasiswa dan orang tua. Negara lepas tanggungjawab di sini. Pendidikan tinggi menjadi tak terjangkau,” katanya.
Namun, Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam, punya pandangan lain. Semangat otonomi di dalam UU Pendidikan Tinggi ini justru mendorong tercapainya otonomi keilmuan. ”Otonomi keilmuan hanya bisa tegak bila ada otonomi tata kelola. Maka bila adik-adik mahasiswa ingin mengawal posisi dan peran perguruan tinggi sebagai salah satu pilar demokrasi bangsa, maka otonomi tata kelola itu menjadi salah satu yang mereka tuntut malahan,” kata Prof Nizam.
Soal pembiayaan, kata Prof Nizam, itu tak ada hubungannya dengan otonomi tata kelola perguruan tinggi. Pemerintah juga menetapkan standar satuan biaya yang transparan sehingga ada kejelasan berapa sebenarnya biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi, berapa yang bisa dibiayai negara dan berapa yang dimintakan kontribusinya dari masyarakat.
”Sekarang ini bisa dilihat, tidak PTN, PTS, PTN BHMN, tidak PTN, yang lain mereka menetapkan tarifnya itu dasarnya tidak ada peraturan yang kuat untuk membatasi, melindungi mayarakat dan sebagainya. Itulah yang kita atur dalam UU Pendidikan Tinggi. Sehingga apapun bentuknya perguruan tinggi itu disesuaikan dengan kemampuan siswa,” lanjut Prof Nizam.
Namun saat ini yang dituntut oleh – salah satunya- mahasiswa adalah kesadaranuntuk menyediakan anggaran pendidikan yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi. ”Persoalan biaya pendidikan tidak mungkin gratis, tapi memungkinkan untuk murah dengan cara negara kemudian menjamin akses dan memasukkan anggaran itu di APBN,” lanjut Ahmad Rizky Umar mengkritisi UU Pendidikan Tinggi ini.
Nizam menegaskan kembali peran negara.Mulai dari perencanaan, penyelenggaraan hingga evaluasi. Termasuk soal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tinggi.
”Secara eksplisit dalam Bab 5 tentang Pendanaan dan Pembiayaan, ditekankan bahwa tanggung jawab dan sumber pembiayaan pendidikan tinggi utamanya adalah pemerintah melalui APBN dan Pemda. Kalau pemerintah pusat wajib, pemda itu ”dapat”. Artinya mereka bisa alokasikan dana APBD untuk membantu penyelenggaran pendidikan tinggi melalui APBDnya,” kata Nizam.
Dalam diskusi publik yang digelar di Kampus UGM, Nizam kembali menegaskan bahwa UU Pendidikan Tinggi dan turunannya nanti justru ingin mengatur sistem agar keluhan-keluhan tentang tidak terjangkaunya pendidikan itu tidak terjadi lagi.
“Inilah perlunya UU Pendidikan Tinggi. Soalnya kalau tak ada UU, maka tergantung kebjikan masing-masing. Pas kebetulan Menterinya menilai pendidikan tinggi penting, berarti harus didanai negara, mungkin bisa murah. Tapi nanti pas prioritas kalah dari yang lain, bisa saja pendidikan tinggi ini dikorbankan. Itu yang ingin kita hindari dengan adanya UU ini. Jadi ada payung hukum yang kuat, tanpa bergantung pada kebijakan pimpinan atau sesedikit mungkin bergantung pada kebijakan kepemimpinan karena sistemnya sudah diatur,” kata Nizam. Pengaturan itu akan tercermin dalam PP dan Permen sebagai turunan dari UU Pendidikan Tinggi ini.
Guru besar Universitas Gajah Mada, Iclasul Amal MA mengakui besarnya keinginan negara untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi bisa seragam mulai dari pengelolaan, keterjangkauan sampai mutu pendidikan. Namun kata dia itu tak mudah. ” Perguruan Tinggi di Indonesia itu luar biasa beragam. Kalau mau diseragamkan, perlu peran negara. Kalau mau seragam, pemerintah harus menanggung semuanya,” kata dia.
Maka dari itu Ichasul Amal memaklumi bila salah satu pihak yang menolak UU ini adalah Perguruan Tinggi Swasta. ” Swasta menentang karena disamakan dengan negeri, padahal fasilitasnya macam-macam, misal ada yang tidak mampu, dulu dosen-dosen bantuan pemerintah. Sekarang disuruh berdiri sendiri. PTS macam-macam, ada yang kaya,ada yang belum bisa penuhi persyaratan. PTS jadi harus berusaha sendiri supaya sejajar dengan PTN,” terang Ichasul Amal. Oleh karena itu, dia mengusulkan agar PP maupaun Permen nanti bisa pula memuat mengenai penyeragaman kualitas dan mutu PTS serta PTN.
Nizam juga mengakui keterbatasan anggaran negara untuk menjamin bahwa pendidikan tinggi, swasta dan negeri, bisa diakses oleh masyarakat. Akibatnya mau tak mau ’beban’ itu mesti dibagi dengan masyarakat. Nizam, yang paling penting saat ini adalah akses pendidikan untuk masyarakat. ”Yang harus kita pastikan, akses ke perguruan tinggi ini tak diskriminatif, tanpa membedakan kaya atau miskin. Tak dibeda-bedakan suku dan agamanya, tak dibedakan dari difabel atau keistimewaan atau ketidakmampuan. Tapi kita mengacu pada potensi akademisnya. Itu prinsip utama Dikti, dan hal itu yang harus dijamin negara!” tegas Nizam.
Keresahan yang sama juga dirasakan Andi Rizky Umar. Karena itu ia meminta agar dalam peraturan pemerintah sebagai turunan UU Pendidikan Tinggi ini, berisi semangat pendidikan yang terbuka untuk semua kalangan dan semangat pendidikan yang murah dan berkualitas. Ia mencontohkan, saat ini, biaya di tujuh Perguruan Tinggi berstatus BHMN ternyata lebih mahal dari perguruan tinggi swasta sekalipun. ”Ini memberatkan bagi masyarakat untuk memperoleh akses pendidikan,” katanya.
Nizam berharap UU Pendidikan Tinggi ini bisa mewujudkan sumberdaya manusia yang kian mumpuni.
”Kita bersaing soal sumberdaya manusia dengan berbagai negara. Kita sudah berhasil selenggarakan pendidikan 9 tahun, lalu pemerintah mendorong masuk ke pendidikan 12 tahun. Nah itu mau diperluas. Untuk masuk ke pendidikan tinggi, perlu pondasi, arsitektur pendidikan tinggi kita ke depan. Itulah butuhnya UU Pendidikan Tinggi. Ini menyiapkan bangsa kita menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka, Indonesia emas yang kita impikan,” kata Nizam
UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pendidikan untuk Semua
KBR68H, Yogyakarta - Juli lalu DPR mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

NASIONAL
Rabu, 19 Des 2012 10:07 WIB


UU Pendidikan Tinggi
Kirim pesan ke kami
WhatsappRecent KBR Prime Podcast
Kabar Baru Jam 7
Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)
Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut
Menguji Gagasan Pangan Cawapres
Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai