KBR, Jakarta - Rencana pemerintah memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal tahun depan memicu penolakan dari banyak kalangan karena dinilai sebagai kebijakan yang tidak bijak.
Mereka khawatir kenaikan PPN akan semakin menambah beban di tengah keadaan ekonomi yang tengah sulit dan melemah. Pemerintah didesak untuk membatalkan rencana kenaikan PPN tersebut.
Pendiri UKMIndonesia.id, Dewi Meisari Haryanti menyoroti ketidaksesuaian antara kebijakan kenaikan PPN dengan kondisi UMKM saat ini.
Menurutnya, batas omzet Rp4,8 miliar untuk menjadi Perusahaan Kena Pajak (PKP) terlalu rendah dan tidak sejalan dengan skala usaha mikro.
"Dari 10 persen ke 11 persen di era Pak Jokowi dan konon sudah titipkan pesan agar Januari 2025 nanti naik menjadi 12 persen, ini kan mengerikan. Perusahaan omzet Rp4,8 miliar sudah wajib menjadi Perusahaan Kena Pajak (PKP), padahal omzet segitu masih tergolong usaha kecil. Tadi saya jelaskan usaha kecil omzetnya Rp2 sampai 15 miliar. Itu artinya sudah diwajibkan memungut PPN ketika mereka masih kecil cil skala nya," ujar Dewi dikutip dari kanal YouTube Berita KBR, Senin (21/10/2024).
Penolak lain adalah Nisa Ul Ikhsani, seorang pelaku UMKM di Jakarta. Ia menyebut saat ini saja, omset yang diterima pedagang kecil turun, akibat kondisi daya beli masyarakat melemah.
"Ngerasain sendiri sih. Karena bahan-bahan yang sekarang aja tanpa kenaikan PPN itu udah naik dan udah banyak yang harganya jadi dua kali lipat atau berapa kali lipat itu untuk bahan-bahannya. Apalagi kalau ini dikenaikin PPN lagi 12% mungkin secara nggak langsung pedagang-pedagang kecil enggak ngerasain, tapi turunnya daya beli masyarakat itu pasti kerasa banget sama pedagang-pedagang. Ya pasti nolak karena Emang kerasa banget di Pembelian bahan baku buat dagang terus juga daya beli masyarakatnya,” kata Nisa Ul Ikhsani saat dihubungi KBR (19/11/24).
Nisa tak bisa membayangkan jika kebijakan PPN 12 persen jadi diberlakukan, maka kemungkinan omset akan semakin menurun sementara harga bahan baku naik. Hal ini, kata dia, bakal mencekik para pelaku UMKM dan ibu rumah tangga sepertinya.
Baca juga:
- Pemerintah Naikkan PPN, Daya Beli Diprediksi Kian Lesu
- Anggota DPR Desak Tunda Kenaikan PPN 12 Persen, Memang Bisa?
Warga lain, Muhammad meminta kebijakan kenaikan PPN dibatalkan karena sangat berdampak kepada kalangan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah.
"Tanpa ini pun kita untuk membeli sesuatu berat. Apalagi jika PPN-nya besar makin sulit membeli. Apalagi untuk yang ekonomi lemah pasti akan semakin sulit membeli. Untuk itu saya tidak setuju," kata Muhammad kepada KBR (19/11/24).
Di media sosial, beredar poster berlatar biru bertuliskan “Taxation Without Representation Is A Crime”; Jangan Minta Pajak Besar Kalau Belum Becus Melayani Rakyat.
Seruan penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen banyak diunggah netizen di media sosial, sebagai bentuk protes atas rencana kebijakan pemerintah itu. Netizen juga menyerukan seruan frugal living atau hidup hemat dan mengurangi berbelanja sebagai bentuk protes kepada pemerintah.
Sebelumnya Menteri Keuangan, Sri Mulyani memastikan kenaikan PPN menjadi 12 persen tetap berlaku mulai 1 Januari 2025, sesuai Undang-Undang tentang Harmoni Peraturan Perpajakan.
Sri Mulyani menekankan, kenaikan PPN telah melalui kajian mendalam dan mempertimbangkan dampaknya terhadap berbagai sektor. Dia memastikan, pemerintah tetap membebaskan PPN sejumlah barang dan jasa di sektor esensial, seperti bahan pokok dan jasa kesehatan.
"Jadi di sini kami sudah membahas bersama bapak/ibu sekalian, sudah ada Undang-Undangnya. Kita perlu untuk menyiapkan agar itu bisa dijalankan tapi dengan tadi penjelasan yang baik, sehingga kita tetap bisa bukannya membabi buta, tetapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya," ucap Sri Mulyani di hadapan DPR, dipantau Jumat, (15/11/2024).
Baca juga:
- Perlambatan Ekonomi, Ekonom: Tunda Kenaikan Pajak dan Tarif, Termasuk PPN
- Kontroversi Rencana Kenaikan PPN 12 Persen
Namun, pernyataan Sri Mulyani disanggah kalangan ekonom, yang menganggap pemerintah masih punya kesempatan untuk membatalkan tarif PPN 12 persen dan membuat tarif PPN yang tidak membebani masyarakat. Alasannya, masih tersedia ruang pada Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan atau UU HPP No 7 Tahun 2021.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies Nailul Huda menilai rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen di tahun 2025 wajib dibatalkan.
Ia mendorong masyarakat bersatu untuk menolak tarif PPN 12 persen di tahun 2025 agar pemerintah sadar bahwa kebijakan tersebut tidak bijak, di tengah beban masyarakat yang berat akibat kondisi ekonomi yang melemah.
"Ada pasal 7 nomor 3 dan 4 yang memberikan kewenangan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN di rentang 5 persen hingga 15 persen melalui penetapan peraturan pemerintah. Kondisi ini sekaligus membantah klaim SMI (Sri Mulyani Indrawati) yang hanya mematuhi undang-undang saja. Masih ada peluang pemerintah untuk membantu masyarakat agar tidak terbebani beban terlalu berat. Memang ini yang kita lihat beban ini dari pelemahan daya beli masyarakat, di mana pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan 3 tahun 2024 yang hanya tumbuh sekitar 4,91 persen secara year on year," kata Nailul saat dihubungi KBR (18/11/2024).