KBR, Yogyakarta - Lima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan alat deteksi dini stunting berbasis Artificial Intelligence (AI). Kelima mahasiswa itu adalah A A Gde Yogi Pramana (IUP Elektronika dan Instrumentasi), Haidar Muhammad Zidan (IUP Elektronika dan Instrumentasi), Faiz Ihza Permana (Teknik Biomedis), Ichsan Dwinanda Handika (Teknik Biomedis), dan Salsa Novalimah (Gizi Kesehatan).
Alat deteksi stunting yang diberi nama Electronic Stunting Detection System (ESDS) ini dirancang terintegrasi dengan sistem informasi dan aplikasi ponsel pintar.
Ketua tim pengembang ESDS Gde Yogi Pramana mengeklaim, alat tersebut dapat melakukan pengukuran massa dan panjang tubuh pada bayi secara cepat.
Selain itu, ESDS juga dapat menyimpan hasil pengukuran secara otomatis sebagai data di aplikasi yang telah terintegrasi.
"Jadi hanya dengan waktu yang singkat orang tua dapat mengetahui status kondisi anaknya dalam hal ini adalah screening stunting atau tidak, dan kemudian terindikasi stunting dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat dan hal itu dapat tertangani segera mungkin," katanya dalam konferensi pers di Fortakgama UGM, Senin (20/11/2023).
Salah satu anggota tim, Faiz Ihza, menjelaskan cara kerja ESDS. Saat balita ditimbang pada permukaan alat atau area yang telah disediakan, sensor high precision load cell akan membaca besaran yang diukur atau ditimbang.
Selanjutnya, hasil pembacaan tersebut akan dikalibrasi dengan metode regresi linear untuk mendapatkan calibration factor.
"LCD akan menampilkan hasil pengukuran berupa data kuantitatif yang merupakan interpretasi dari massa dan panjang tubuh bayi yang diukur," jelasnya.
Baca juga:
- Bapanas: Laporkan Jika Ada Bantuan Pangan Stunting tak Layak Konsumsi
- BKKBN: Serapan Dana Bantuan Stunting Masih Rendah
Untuk menyatakan apakah anak terindikasi stunting atau tidak, alat itu menggunakan algoritma SMOTE-ENN yang diintegrasikan dengen ensemble leraning.
"Dengan begitu ensemble learning dapat mengklasifikasikan uji sampel berdasarkan data yang dinamis seperti pada data pengukuran stunting yang terus bertambah setiap kali melakukan pengukuran," ujarnya.
Pengembangan ESDS ini berawal dari keprihatinan mereka terhadap tingginya kasus stunting di tanah air. Deteksi dini stunting pada anak di bawah usia dua tahun telah banyak dilakukan kader kesehatan melalui posyandu.
Hanya saja menurut mereka, masih sering terjadi kesalahan terhadap keakuratan dalam mengukur dan mengevaluasi pertumbuhan pada anak. Kondisi itu disebabkan oleh kurangnya keterampilan kader dan tidak sesuainya alat pengukur dengan standar antropometri.
"Pengukuran anak di bawah dua tahun biasanya diukur menggunakan infantometer board dan timbangan. Sementara bagi posyandu yang tidak memiliki biasanya panjang badan diukur menggunakan alat seadanya," tambah Yogi.
Editor: Wahyu S.