KBR, Jakarta- Kalangan Pelapor Dugaan Pelanggaran Etik menilai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terlalu bertele-tele dalam menangani kasus dugaan pelanggaran etik oleh Ketua MK Anwar Usman saat memutus perkara nomor Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia capres dan cawapres. Anggota Pelapor Dugaan Pelanggaran Etik, Feri Amsari mengatakan ketua MKMK terlalu lama dan tidak bertindak dengan sigap dalam memutus dugaan etik ini.
Dia menyebut seluruh bukti sudah jelas merujuk pada konflik kepentingan. Seharusnya tidak membutuhkan waktu lama dan keterangan para ahli lain dalam menindak hal ini.
"Bahwa Ketua MK adalah paman Gibran, bahwa pemohon punya relasi dan Gibran, dan orang yang mendapatkan manfaat dari perkara ini melalui putusan ini adalah Gibran. Terpenuhi sudah, sudah selesai sebenarnya pemenuhan pembuktian bahwa telah terjadi pelanggaran etik. Jangan diperpanjang lagi ini. Sudah terang benderang ini pelanggaran etik. Ini kan kondisinya sangat mendesak ya. Jadi aneh kalau kemudian berlarut-larut. Setelah diberikan sanksi etik, ketua MK (harus) diberhentikan," ujar Feri, saat dihubungi KBR, Rabu (1/11/2023).
Anggota Pelapor Dugaan Pelanggaran Etik, Feri Amsari juga mendorong Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk bersikap objektif, transparan, dan adil dalam memutus perkara pengaduan pelanggaran etik.
Ia berharap MKMK dapat mengembalikan nama baik Mahkamah Konstitusi dan sistem demokrasi Indonesia kearah yang lebih baik.
Baca juga:
- 16 Guru Besar dan Pengajar Hukum Tata Negara Melaporkan Ketua MK
- LSI: Mayoritas Masyarakat Nilai Putusan MK Syarat Usia Capres-Cawapres Tidak Adil
Putusan MK untuk perkara 90 yang dibacakan Senin (16/10/2023) menuai kontroversi dan mendapat sorotan luas di masyarakat. Perkara itu terkait batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. MK mengabulkan sebagian gugatan pemohon dengan memasukkan norma baru.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin (16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pada perkara sebelumnya, MK menolak sepenuhnya sejumlah permohonan agar usia batas capres-cawapres diturunkan dari angka 40. Gugatan yang ditolak antara lain Perkara Nomor 29 yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), perkara nomor 51 (diajukan Partai Garuda), dan perkara 55. Alasan penolakan MK, karena masalah usia itu merupakan open legal policy yang berada di ranah legislatif.
Editor: Rony Sitanggang