KBR, Jakarta- Di masa pandemi, seluruh lapisan masyarakat terus dihimbau untuk beradaptasi dengan kebiasaan baru serta melaksanakan protokol kesehatan. Agar sosialisasi protokol kesehatan kepada masyarakat bisa efektif, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memaksimalkan peran tokoh agama.
Pemuka agama dianggap sebagai jembatan yang tepat untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan protokol kesehatan di masa pandemi ini. Menurut Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) PP Muhammadiyah, Budi Setiawan, untuk menghadapai pandemi ini, salah satu cara yang bisa dilakukan masyarakat adalah tawakal. Cara ini juga dilakukan Rasulullah pada zamannya.
Kata dia, untuk memahami hal tersebut, sangat perlu untuk memahami bagaimana Rasulullah mempraktikkan nilai tawakal itu. Tawakal bukan berarti pasrah tanpa melakukan apa-apa.
“Dalam melaksanakan tawakal, harus ada yang namanya upaya. Ketika Rasulullah hijrah, beliau juga melakukan suatu upaya. Demikian juga dengan COVID-19, kita harus berupaya untuk melawan atau menghindari, meskipun kita tawakal,” tutur Budi Setiawan di program Ruang Publik KBR, Jumat (16/10/2020).
Budi mencontohkan, di Yogyakarta, masjid sudah dibuka sejak Juni, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Di dalam masjid, misalnya, salat dilakukan dengan menjaga jarak.
“Banyak hal yang kemudian cukup sulit untuk dilakukan, seperti misalnya harus menggunakan masker ketika sedang salat, tapi alhamdullilah sekarang sudah bisa terlaksana dengan baik,” tutur Budi.
Budi mengatakan dengan menaati protokol kesehatan, kita tidak hanya menjaga kesehatan diri sendiri, tetapi juga orang lain di sekitar kita.
Sementara itu di kesempatan yang sama, Pendeta Mery Kolimon, Ketua Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengatakan, banyak warga yang merasa tidak acuh karena tidak paham akan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tetapi belakangan, Ia melihat masyarakat mulai menaati protokol kesehatan, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M).
“Yang masih sangat sulit adalah menghindari acara pesta. Karena bulan-bulan seperti ini, dalam kalender masyarakat setempat, adalah saatnya orang untuk melakukan hajatan, terutama pernikahan. Kami dari pihak lembaga utama, terus menghimbau umat. Di satu pihak, hajatan yang sudah direncanakan sebelumnya bisa tetap dilakukan, tetapi dengan menaati protokol kesehatan,” tutur Mery Kolimon.
Mery juga khawatir, karena Kota Kupang tempat ia tinggal sudah memasuki zona merah. Jumlah orang yang terpapar kian hari, kian bertambah. Meskipun demikian, sampai hari ini, masih ada beberapa pulau-pulau berpenghuni yang masih zona hijau.
“Maret sampai Juni, gereja di seluruh NTT melaksanakan ibadah secara online. Sejak Juli, beberapa tempat yang tidak zona merah, mulai melaksanakan ibadah secara offline di gedung gereja,” tutur dia.
Mery menjelaskan, tuntutan agama adalah agar manusia menggunakan akal dan percaya ilmu pengetahuan. Maka menurutnya, COVID-19 tidak bisa hanya diselesaikan dengan cara berdoa, harus ada upaya lain.
“Kami mencoba mengedukasi umat bahwa kita bertanggungjawab atas kehidupan yang Tuhan anugerahkan bagi kita. Kami sering menggunakan salah satu ayat Alkitab untuk mengajar umat, yaitu yang tertulis pada Amsal 27:12, kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tidak berpengalaman berjalan terus lalu kena celaka,” papar Pendeta Mery.
Merry menambahkan, manusia diberikan kebijaksanaan untuk bisa terluput dari marabahaya.
“Kadang kedisiplinan orang saat datang ke rumah ibadah tidak sama dengan saat sedang di tempat lain. Di rumah ibadah sangat disiplin, tetapi di luar belum tentu. Jadi kita perlu mengingatkan bahwa pandemi ini merupakan suatu realitas global, terjadi di seluruh dunia, sehingga masyarakat bisa lebih waspada,” pungkas dia.
Editor: Rony Sitanggang
(Redaksi KBR mengajak untuk bersama melawan virus covid-19. Selalu menerapkan protokol kesehatan dalam setiap kegiatan dengan 3M, yakni; Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci Tangan dengan Sabun.)