KBR, Jakarta - Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nurkhoiron, meminta polisi transparan soal arti keamanan dan ketertiban umum. Kata Nukhoiron, selama ini dalih ketertiban umum sering disalahgunakan.
Polisi, tambah Nurkhoiron, sering membatalkan kegiatan kelompok minoritas karena dianggap mengganggu ketertiban. Padahal, seharusnya polisi melindungi hak berkumpul mereka.
"Polisinya jelas yang salah. Karena dia justru berpihak pada kelompok mayoritas. Seringkali seperti itu," kata Nurkhoiron kepada KBR usai diskusi UU Ormas di Utan Kayu, Jakarta, Kamis (27/11) siang.
"Polisi itu tidak punya cara menciptakan ketertiban umum berdasarkan aturan, tugas, dan kewenangan yang ada. Seringkali memang seperti itu, termasuk soal Ahmadiyah, itu juga sama. Banyak polisi justru berpihak kepada kelompok mayoritas," tambahnya.
Nukhoiron menambahkan, polisi harus menjaga hak seluruh pihak terlayani. Polisi harus mengamankan acara supaya hak berkumpul minoritas terjaga. Di saat yang sama polisi perlu mengatur lalu lintas tetap lancar.
"Kalau bikin pengajian di tengah jalan, mengganggu mobil lewat, kemudian macet, itulah tugas polisi untuk menyajikan fasilitas agar dua kelompok ini terlayani," kata Nurkhoiron.
Tapi, polisi tidak boleh ikut campur dalam perbedaan keyakinan antara mereka. "Konten protesnya apa? Kalau terganggu karena punya pandangan berbeda, mereka (yang protes) itu yang bermasalah," jelas Nurkhoiron.
Polisi dinilai sering tunduk ke kelompok intoleran. Misalnya di Bandung, November tahun lalu, Ormas IJABI mengadakan peringatan Asyura yang diprotes Ormas FPI. FPI menuduh acara itu mengganggu ketertiban umum. Polisi pun mengikuti tekanan massa dan meminta acara dipindahkan ke lokasi lain. Padahal acara ini sudah berlangsung di tempat yang sama sejak 2008.
Editor: Antonius Eko