Bagikan:

Diskriminasi Perempuan Dimulai dari Sekolah

KBR, Jakarta - Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Cedaw) Indonesia mencatat diskriminasi pada perempuan di Indonesia sudah terjadi sejak anak-anak. Bahkan dalam peraturan-peraturan di sekolah.

NASIONAL

Rabu, 12 Nov 2014 06:42 WIB

Author

Luviana

Diskriminasi Perempuan Dimulai dari Sekolah

perempuan, gnder

KBR, Jakarta - Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Cedaw) Indonesia mencatat diskriminasi pada perempuan di Indonesia sudah terjadi sejak anak-anak. Bahkan dalam peraturan-peraturan di sekolah.

Diskriminasi itu terjadi pertama kali di lingkungan tempat tinggal. Lalu berlanjut ke sekolah. Akhirnya berbentuk ke peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

Diskriminasi yang pernah ada semisal dialami siswi perempuan yang sedang hamil. Siswi perempuan yang hamil kemudian tidak boleh melanjutkan sekolah. Sementaa siswa yang menghamilinya boleh melanjutkan sekolahnya.

Diskriminasi lain juga terjadi pada anak yang orangtuanya bercerai. Anak yang orangtuanya bercerai sering mendapat julukan sebagai anak yang tak jelas asal-usulnya. Kasus ini banyak menimpa anak-anak di Indonesia, mereka yang tertimpa kasus ini biasanya sulit mendapatkan akte kelahiran.

Isu itu dibahas dalam diskusi yang bertajuk 'Menginventarisir Persoalan Diskriminasi yang Dialami Perempuan Indonesia' di Jakarta, Selasa (11/11) kemarin. Diskusi itu digelar Cedaw Working Group Indonesia. Cedaw Working Group Indonesia merupakan sebuah komite untuk memantau adanya diskriminasi atau pembedaan perlakuan di Indonesia.

Koordinator Cedaw Indonesia, Estu Fanani mengatakan praktek pembedaan lain juga terjadi di sekolah dimana banyak terjadi praktek diskriminasi gender. Identifikasi atau labeling dilakukan pada siswa. Seperti warna biru identik dengan siswa laki-laki. Sedangkan warna pink identik dengan perempuan. Akibatnya siswi perempuan dianggap lembut dan tidak boleh membawa beban berat.

"Identifikasi seperti ini awalnya memang diajarkan di lingkungan rumah, lingkungan sekolah. Padahal hal ini yang kemudian membuat anak perempuan tidak boleh mengekspresikan keinginannya," kata Estu Fanani.

Jadi membatasi ruang gerak perempuan menjadi hal yang sudah biasa dilakukan. Hal ini kemudian juga tercermin dari jumlah Perda diskriminatif yang saat ini jumlahnya mencapai 265 buah. Perda ini umumnya mengatur cara duduk perempuan, cara berpakaian, cara berbicara perempuan.

"Maka tak heran jika sekarang muncul kewajiban tata cara berpakaian, jika pakaiannya berbeda, maka ada tuduhan bahwa perempuan tersebut tak bermoral," tambah Estu.

Estu menambahkan praktek diskriminasi lain adalah sunat perempuan yang masih banyak dilakukan karena dilakukan menurut adat-istiadat yang ada di Indonesia. Padahal praktek ini merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Praktek ini 'dilegalkan' dalam Peraturan Menteri Kesehatan 1636/Menkes/ Per/X1/ 2010.

Estu meminta pemerintahan Jokowi-JK serius merealisasikan penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di berbagai sektor. Minimal menjalankan rekomendasi Komite Cedaw dalam Observasi akhir.  Karena pemerintah Indonesia sudah meratifikasi konvensi Cedaw sejak tahun 1984 melalui UU 7/1984.

"Upaya memperbaiki kesejahteraan dan ekonomi bangsa harus juga berdasarkan pada keadilan dalam penikmatan dan perlindungan hak asasi perempuan," tutup Estu.

Editor: Pebriansyah Ariefana

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending