"Tidak ada satupun bangunan di Jakarta yang layak dikategorikan green, itu hanya marketing tools para pengembang saja agar jualannya laku,"tegas Daliana Suryawinata, Direktur Shau, Firma Arsitektur Urban yang berpusat di Belanda.
Seharusnya pemerintah Indonesia, tambah Dalina, tidak harus mencontoh negara barat dalam mengembangkan konsep bangunan yang ramah lingkungan. "Karena negara di Eropa maupun Amerika itu gagal menciptakan desain bangunan yang green. Hanya 40 dari 6 ribu bangunan di kota New York, Amerika Serikat yang bersertifikat Leadership in Energy and Environmental Design (LEED)," tambah perempuan yang juga anggota researcher di Why Factory Tu Delf ini.
Lantas apa sebenarnya yang dimaksud dengan kota after green itu? "Kota after green itu adalah konsep kota yang seluruh bangunannya dibangun berdasarkan sumber daya alam yang ada di kota tersebut. Misalnya kawasan pesisir pantai di Indonesia bisa dibangun dengan memanfaatkan tenaga gelombang air laut sebagai sumber energinya. Untuk penerangannya bisa menggunakan algae atau jamur yang bisa mengeluarkan cahaya dan untuk penyejuk udaranya bisa menggunakan aliran udara dari kolam yang dibangun di dasar bangunan," ujar Daliana.
Untuk menciptakan kota after green dibutuhkan waktu sekitar 5 tahun. "Tapi itu untuk kota-kota yang belum memiliki permasalahan kompleks seperti Jakarta. Untuk Jakarta harus benahi dulu dua masalah utamanya, yakni banjir dan macet, baru bisa fokus untuk mengembangkan kota after green,"tegas Daliana menutup perbincangan dengan Green Radio.