KBR, Jakarta– Public Interest Lawyers Network (PILNET) mengungkap sejumlah permasalahan terkait pemenuhan hak korban terorisme. Pengacara publik PILNET, Judianto Simanjuntak mengatakan, permasalahan itu bukan hanya soal waktu pengajuan, melainkam kurangnya sosialisasi dan penyebaran informasi. Sejumlah hal ini jadi penghambat pemenuhan hak korban terorisme.
“Masalahnya itu adalah yang sebelumnya itu Undang-Undang (Tindak Pidana Terorisme) Pasal 43L ayat 4 itu. Sebenarnya kendalanya di situ karena bagaimanapun masyarakat dan korban itu, berbagai pelosok itu, kan, belum tentu langsung mengetahui ada informasi-informasi terkait dengan pengajuan hak-haknya itu ke LPSK yang awalnya dulu diawali dari penetapan dari BNPT,” ucap Judianto dikutip dari kanal YouTube Berita KBR, Jumat (04/10/2024).
PILNET berharap, LPSK dan BNPT lebih berperan dalam sosialisasi informasi pengajuan pemenuhan hak kepada korban terorisme, karena itu sangat dibutuhkan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan tiga korban terorisme di Poso dan Depok yang memohon perpanjangan masa pengajuan kompensasi, dari semula tiga tahun menjadi sepuluh tahun. Putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023, itu dibacakan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis, (29/8).
Para penguji adalah Perja Ronald Pidu korban bom di Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulteng. Kedua, Febri Bagus Kuncoro dan Mulyani Taufik Hidayat korban bom Beki Depok, Jawa Barat.
Ketiganya mengugat Pasal 43L ayat 4 di UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Sebab, durasi tiga tahun dinilai terlalu singkat, yang bisa berpotensi membuat banyak korban terorisme tidak akan mendapatkan kompensasi karena pengajuannya dianggap kedaluwarsa.
Apresiasi
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi putusan MK tersebut. Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias mengatakan, bakal membuat sistem baru yang diharapkan mempercepat proses pemenuhan hak korban terorisme.
“Apresiasi, ya, terhadap putusan tersebut dan termasuk juga apresiasi kepada teman-teman PILNET, dan para korban yang berani mengajukan judicial review ini,” ucap Susilaningtias dikutip dari kanal YouTube Berita KBR, Jumat, (04/10/2024).
Ia mengakui, pada sistem sebelumnya terlalu banyak asesmen yang menghambat proses. Prosesnya yang lama ini juga menjadi alasan banyaknya korban terorisme yang tidak mendapatkan haknya.
“Nanti kami akan menerapkan mekanisme baru supaya cara kerja kami baik LPSK dan BNPT ini lebih efektif dan efisien, dan kemudian juga tidak banyak menyita waktu, dan kemudian tidak banyak apa, ya, istilahnya itu tidak terlalu banyak melakukan asesmen kepada korban,” ujar Susilaningtias.
Upaya Percepatan dan Nilai Kompensasi
LPSK juga akan menggandeng dokter forensik dan ikatan psikolog sebagai upaya mempercepat pemenuhan hak korban terorisme. Kata dia, nantinya dokter dan psikolog akan membantu mengidentifikasi korban, serta menentukan derajat luka guna menentukan seberapa besar kompensasi yang akan diberikan.
“Nah, diatur juga di situ bahwa yang berhak mendapatkan hanya korban langsung, ya. Ada beberapa hak-haknya yaitu soal bantuan. Sebenarnya ini banyak yang belum paham apa saja sih bantuannya. Nah bantuannya itu ada bantuan medis, bantuan psikologis dan bantuan psikososial,” tambah Susilaningtias.
Kompensasi yang diterima korban terorisme juga memiliki lapisan jumlah. Berdasarkan surat dari mnteri keuangan yang disampaikan kepada LPSK, kompensasi yang diterima korban meninggal sebesar Rp250 juta. Lalu, untuk luka berat sebesar Rp210 juta,korban luka sedang Rp115 juta, dan korban luka ringan Rp75 juta.
Baca juga: