KBR, Jakarta- Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Badiul Hadi mewanti-wanti pemerintahan Prabowo-Gibran agar penambahan jumlah kabinet tidak membebani keuangan negara.
Sebab, ia berpendapat langkah tersebut berpotensi memberi beban anggaran yang besar karena membengkaknya belanja pegawai.
Badiul pun menekankan pentingnya efektif dan efisien dalam penggunaan anggaran negara.
"Ini juga akan berpengaruh pada efisiensi penggunaan anggaran. Jumlah kabinet yang meningkat memerlukan evaluasi mendalam terhadap efektivitas dan efisiensi nantinya dalam penggunaan pos anggaran. Terlebih di dalam situasi APBN 2025 yang sedang tidak begitu baik ya. Sehingga penambahan kementerian ini bisa menambah tekanan anggaran yang berpotensi pada menyebabkan pemborosan, dan konflik prioritas antar kementerian. Dampaknya apa?, realisasi program pemerintah akan tersendat," ujar Badiul kepada KBR, Rabu (16/10/2024).
Badiul juga menilai adanya kabinet jumbo pada pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi membengkakkan utang negara.
"Kekhawatirannya tentu adalah ini akan berpotensi melalui skema utang untuk membiayai program-program strategis. Karena tadi tersedot untuk kegiatan administrasi di kementerian, misalnya belanja pegawai. Ini perlu diimbangi dengan strategi yang lebih komprehensif di dalam mendorong pendapatan negara, terlebih dalam kondisi ekonomi yang sulit hari ini,” tutur Badiul.
“Resiko penambahan beban utang jangka panjang dan memperburuk keseimbangan fiskal itu sangat besar. Sehingga dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional kedepan," imbuhnya.
Lebih lanjut, Badiul menyebut kemampuan pasar untuk menyerap surat utang pemerintah nantinya akan sangat tergantung pada kondisi likuiditas pasar, tingkat suku bunga global dan domestik, serta sentimen investor.
Baca juga:
- Bahlil dan Sri Mulyani Kembali Diminta Prabowo Masuk Kabinet
Sebelumnya, kabinet Prabowo-Gibran diproyeksi bakal menambah kementerian dari semula 34 menjadi sekitar 40.
Salah satu calon menteri yang ikut seleksi yakni Sri Mulyani Indrawati. Bekas Pejabat Bank Dunia ini diproyeksi tetap menjadi Menteri Keuangan di kabinet Prabowo-Gibran.
Sri Mulyani mengakui diminta kembali menjadi bendahara negara. Kata dia, Prabowo berpesan agar dirinya menyiapkan APBN tahun depan untuk seluruh program prioritas termasuk di kementerian/Lembaga.
"Makanya berbagai arahan mengenai pengelolaan dari sisi penerimaan negara, pajak, bea cukai, PNBP, belanja negara, belanja negara untuk kementerian/lembaga maupun untuk transfer ke daerah dan juga berbagai investasi yang dilakukan itu perlu dioptimalkan ditingkatkan kualitasnya diyakinkan untuk efektifitas terutama untuk manfaat kepada masyarakat,"ujar Sri Mulyani di Kertanegara, Senin (14/10).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan, pendapatan negara dalam APBN 2025 mencapai Rp3.000-an triliun didukung oleh penerimaan perpajakan sekitar Rp2.490 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp510 triliun.
Di sisi lain, ada proyeksi belanja Kementerian/Lembaga di 2025 sekitar Rp1.160 triliun.
Kemenkeu mencatat utang pemerintah menyentuh Rp8.400-an triliun per akhir Agustus 2024, dengan rasio utang sebesar 38,4 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara batas aman adalah 60 persen sebagaimana diatur dalam Undang-undang 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Adapun pada tahun terakhir SBY menjabat sebagai Presiden di 2009. Total utang pemerintah saat itu Rp2.600-an triliun.