KBR, Jakarta- Masyarakat Adat Poco Leok menyebut proyek strategis nasional (PSN) pembangkit listrik tenaga geotermal di Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah mengganggu aktivitas pertanian di sana. Perwakilan masyarakat adat Poco Leok, Agustinus Tuju mengatakan, selain aktivitas pertanian, PSN itu juga merusak lingkungan.
"Yang kami alami di Poco Leok, sejak proyek geotermal masuk ke Poco Leok, aktivitas para petani di Poco Leok sebagai petani sudah terganggu. Kedua, nilai adat dan budaya yang ada di Poco Leok sudah mulai rancu. Karena masuknya proyek geotermal di Poco Leok tanpa melibatkan tokoh-tokoh adat atau tua tua adat yang ada di Poco Leok. Mereka mengambil tanah rakyat secara paksa dan tanpa melibatkan tokoh adat yang memberikan itu kepada masyarakat, kepada warga," ujar Agustinus dalam Konferens Pers, Senin, (7/10/2024).
Agustinus mengungkap, keberadaan aparat di sana juga memicu tindak kekerasan yang dialami warga.
"Kalau proses pelaksanaan tanpa komunikasi apakah ini tidak sebuah pelanggaran? Kemudian dari kepolisian, dia bilang kami adalah representasi negara. Pada waktu itu kami cari siapa yang bawa mereka ke sana. Perusahaan, kah? Atau siapa yang bawa mereka ke sana? Dan mereka tidak mau kasih tahu. Waktu itu mereka tidak mau kasih tahu siapa yang bawa aparat itu ke sana," katanya.
Dipukul Aparat
Karlo Gampur adalah salah satu warga masyarakat adat yang mendapat kekerasan dan intimidasi. Padahal, ia hanya menanyakan fungsi dan peran aparat keamanan di sana.
"Pada saat itu mereka dorong saya hingga saya jatuh dan pada saat itu juga saya bangun. Mereka tarik tangan saya lalu kemudian mereka dorong saya sambil pukul dan pada akhirnya saya juga jatuh. Dan pukulan dari pihak aparat waktu itu di bagian dada sini. Dan memang saya lihat itu berseragam aparat,” ujar Karlo dalam Konferensi Pers, Senin, (7/10/2024).
Demo Tolak PSN
Sebelumnya, masyarakat Poco Leok berdemonstrasi menolak proyek perluasan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Penolakan itu memicu mobilisasi aparat keamanan yang cenderung represif dan intimidatif menangani penolakan warga.
Empat warga dan satu jurnalis lokal sempat ditangkap polisi, sebelum akhirnya dibebaskan setelah beberapa jam ditahan. Jurnalis yang ditangkap adalah Herry Kabut, yang juga pemred Floresa.co. Herry mengaku diintimidasi aparat. Ia juga mengalami luka di leher dan kepala.
Polisi Membantah
KBR sudah berupaya mengklarifikasi peristiwa tersebut ke Humas Mabes Polri, namun urung mendapat jawaban hingga berita ini siar.
Mengutip Floresa(dot)co, Kapolres Manggarai, Edwin Saleh mengeklaim, Herry Kabut diamankan bukan ditangkap. Kapolres berdalih, itu dilakukan untuk menghindari seseorang jadi korban atau pelaku pelanggar aturan hukum.
Edwin juga membantah ada kekerasan, seperti yang disampaikan dalam pemberitaan di sejumlah media. Meski saat itu ia tak berada di lokasi saat kejadian.
Baca juga: