Bagikan:

(QnA) KontraS: Iklim Kebebasan Berpendapat era Jokowi Turun Drastis

"Pemerintah Jokowi di periode kedua, opini itu sangat turun drastis. Karena menurut kami ada suatu fenomena yang disebut sebagai legalisme otokratis,"

NASIONAL

Jumat, 18 Okt 2024 16:22 WIB

Author

Hoirunnisa

demokrasi

Mahasiswa melintas di depan spanduk mimbar demokrasi di Sulawesi Tengah, Jumat, (1/12/2023) (Foto: ANTARA/Basri)

KBR, Jakarta- LSM Kontras menilai dalam lima tahun terakhir Pemerintahan Presiden Joko Widodo, iklim kebebasan berpendapat menurun sangat drastis.

Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya beralasan, pemerintah masih menggunakan pasal karet untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menyampaikan pendapatnya.

Lantas, apa desakan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membenahi kualitas kebebasan sipil? simak wawancara jurnalis KBR Hoirunnisa dengan Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya.

Baca juga:

KBR: Dari catatan anda seperti apa situasi kebebasan sipil era Jokowi?

Dimas KontraS: "Dalam hampir kurang lebih 10 tahun terakhir masa pemerintahan Jokowi, terutama di 5 tahun terakhir pemerintah Jokowi di periode kedua, opini itu sangat turun drastis. Karena menurut kami ada suatu fenomena yang disebut sebagai legalisme otokratis. Di mana kemudian banyak pejabat maupun banyak elite politik atau elite kekuasaan yang menggunakan kuasanya untuk melakukan manipulasi pemidanaan. Artinya menggunakan pasal-pasal yang sifatnya karet, seperti Undang-Undang ITE. Lalu ada Undang-Undang terkait dengan pencemaran nama baik, serta tidak ada mekanisme perlindungan, juga tidak ada mekanisme penjaminan terhadap hak berpendapat," ucap Dimas kepada KBR, pada Jumat (18/10/2024).

"Maka itu yang kemudian menghasilkan satu kondisi di mana masyarakat menjadi enggan untuk menyampaikan suara. Karena ancamannya jelas, ancamannya adalah proses hukum. Dan juga belum lagi bicara tentang ancaman-ancaman lain yang sifatnya non-hukum misalnya dengan serangan-serangan yang tersistematis serangan digital. Upaya pembungkaman terhadap masyarakat yang menyampaikan pendapat, jadi faktor kebebasan sipil ini merupakan faktor yang paling determinan atau faktor paling penting dalam mengupayakan perbaikan demokrasi di Indonesia ke depan," sambungnya.

Baca juga:

KBR: Apa desakan terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan terkait kebebasan sipil ini?

Dimas KontraS: "Kita lihat ada dua kemungkinan yaitu stagnan ataupun regresif, dalam beberapa kesempatan terutama kami menyisir dari dokumen kontrak politik presiden terpilih wakil presiden terpilih Asta Cita yang justru tidak mengelaborasi lebih jauh soal upaya dalam menjamin kemerdekaan berpendapat. Kami proyeksikan akan sama saja atau justru semakin represif. Tantangannya adalah berkaitan dengan regulasi, selama masih ada regulasi atau peraturan yang bersifat intimidatif dan represif seperti undang-undang ITE, belum lagi kita berbicara di 2026 undang-undang KUHP akan berlaku. Ini akan menjadi tantangan tersendiri kedua etika politik dari pejabat publik Bagaimana pejabat publik seharusnya menahan untuk melakukan upaya hukum," pungkasnya.

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending