Daru mengklaim, kepolisian tidak memiliki bukti yang cukup dan memeriksa tidak sesuai prosedur.
"Besok mau ke Kompolnas. Kompolnas itu soal pelanggaran Polres dan Polsek di Mojokerto, mengintimidasi warga, menjemput warga tanpa ada surat, membuat pemanggilan, kriminalisasi. Jadi warga yang membuat status di Facebook, menyinggung-nyinggung PT. PRIA itu dipanggil polisi, bahkan anak kecil. Ada 7 warga yang dipanggil polisi saat itu," kata Daru di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (25/10/16).
Daru mengatakan, isu tentang pencemaran lingkungan akibat aktivitas pabrik pengolahan lombah B3, PT. PRIA memang menjadi pembicaraan semua warga di kampung, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Namun, Daru menyatakan tidak mengira apabila Kepolisian bisa langsung mengkriminalisasi warga Lakardowo. Apalagi, kata dia, penangkapan itu tidak sesuai dengan ketentuan yang semestinya, sehingga Kompolnas harus memberikan sanksi atas kriminalisasi itu.
Daru berujar, saat menghadapi proses pemeriksaan di Kepolisian, masyarakat Lekardowo dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Kata dia, LBH Surabaya yang memberikan wawasan kepada warga tentang prosedur penangkapan dan proses hukum sesuai ketentuan undang-undang. Warga bersama LBH Surabaya pun lantas menulis surat keberatan atas kriminalisasi itu. Sehingga, setelah membuat surat keberatan itu dilayangkan, penyelidikan itu akhirnya dihentikan.
Konflik Warga
Pencemaran lingkungan yang diakibatkan PT.
Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) menimbulkan konflik sosial antarwarga Desa
Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Manajer Riset
Ecological Obsevation and Wetlands Conservation (ECOTON) Daru Setyorini
mengatakan, konflik sosial itu terjadi karena opini warga terbelah
tentang isu pencemaran lingkungan PT. PRIA.
Kata daru, di desa itu setidaknya ada 200 keluarga yang bekerja di PT. PRIA, sehingga mendukung perusahaan tersebut.
"Sekarang ini, sudah terjadi konflik sosial, yang semakin meruncing.
(Terjadi pro dan kontra?) Iya, karena sebagian kecil warga, sekitar 20
persen warga, 200 orang, itu bekerja di PT. PRIA, sementara masyarakat
yang dominan ini menolak keberadaan PT. PRIA, karena mereka tahu PT.
PRIA telah melakukan penimbunan limbah B3 dan penimbunan itu telah
mencemari air sumur warga sekitar," kata Daru.
Daru mengatakan, mayoritas warga desa Lakardowo saat ini menentang PT.
PRIA dan menuntut lahan yang menjadi lokasi pabrik pengolahan limbah
perusahaan itu dibongkar. Pasalnya, kata dia, fakta dan penelitian
laboratorium membuktikan ada kesalahan prosedur operasi pengolahan
limbah.
Daru menyebutkan,
akibat dari pengolahan limbah itu kini dirasakan langsung oleh warga,
misalnya air sumur yang kuning, pahit, dan terkontaminasi senyawa
berbahaya. Selain berbahaya untuk dikonsumsi, kata Daru, air sumur di
daerah itu juga berbahaya bagi kulit yang sensitif, seperti pada bayi.
Hari ini, warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto,
mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mendesak
agar memberikan keterangan yang benar terkait hasil uji laboratorium
pencemaran air dan lingkungan oleh PT. PRIA. Warga juga menuntut KLHK
membekukan izin PT. PRIA dan menghentikan sementara aktivitas PT. PRIA.
Pasalnya, hasil uji temuan yang diumumkan KLHK bertolakbelakang dengan
fakta dan data hasil pengujian yang sama-sama dilakukan KLHK dan Ecoton.
Editor: Rony Sitanggang