"Indonesia memang saya kira banyak hal yang bisa diangkat. Pertama, kita sudah ratifikasi, dan yang paling penting sebetulnya dari ratifikasi yang ada di Indoensia itu kita kelihatan betul, kita punya modal sosial yang kuat. Dan itu bukan omong kosong, terlihat dari berbagai inovasi-inovasi yang sudah ditampilkan komunitas," kata Siti di kantornya, Jumat (28/10/16).
Siti mengatakan, ratifikasi itu juga akan berperan secara politis, saat delegasi Indonesia mengajak negara lain bekerja sama menunaikan kesepakatan lingkungan yang ada. Menurut Siti, ratifikasi itu juga bentuk penguatan komitmen Indonesia berkontribusi mengurangi 29 persen emisi gas rumah kaca dengan upaya sendiri, dan 41 persen jika ada kerja sama dengan internasional.
Siti berujar, pada COP 22 Marakesh nanti, delegasi Indoensia juga akan menyoroti mekanisme pembiayaan upaya penurunan emisi gas rumah kaca periode 2020-2030. Kata dia, salah satu pembahasan di COP itu adalah bagaimana negara maju menyiapkan pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas agar komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca negara-negara berkembang benar-benar berjalan.
Pada 19 Oktober lalu, lewat sidang paripurna, DPR akhirnya mengesahkan ratifikasi Perjanjian Paris. Terkait pengesahan ini, LSM lingkungan Walhi menyebut, pemerintah harus lebih berkomitmen dalam penurunan emisi dengan berbagai cara seperti menghapuskan bertahap penggunaan energi fosil (batubara) dengan menggenjot energi terbarukan, serta menghentikan ekspansi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
Editor: Dimas Rizky