KBR, Jakarta – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK Muhammad Yusuf menilai penelurusan rekam jejak adalah cara efektif untuk menjaring pejabat yang benar-benar bersih.
Namun, kata dia, PPATK tidak bisa melakukannya atas inisiatif sendiri.
“KPU bisa membuat surat edaran atau apa pun bentuknya, misalnya untuk jadi kepala daerah harus melampirkan bukti Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), bukti pembayaran pajak dan menyerahkan identitas untuk ditelusuri PPATK. Saya kira itu inisiatif yang baik,” jelas Muhammad Yusuf.
Presiden Joko Widodo menyerahkan 43 nama calon menteri untuk diperiksa rekam jejaknya oleh KPK dan PPATK. Hasilnya delapan calon menteri mendapatkan rapor merah dan kuning dari KPK – artinya berpotensi terjerat kasus hokum terkait korupsi.
Langkah yang dilakukan Presiden Jokowi ini dinilai positif oleh lembaga survey dan politik SMRC. Peneliti SMRC Jayadi mengatakan, ini adalah cara efektif untuk cegah tekanan politik dalam menentukan nama-nama menteri. Karena dengan begitu, partai politik jadi kesulitan mengajukan nama yang sudah diberi rapor merah oleh KPK dan PPATK.
Jayadi memperkirakan, tertundanya pengumuman kabinet selama ini adalah karena ada negosiasi politik.
“Jokowi sudah menunjukkan upaya yang cukup elegan dengan cara non politik untuk hadapi tekanan politik,” jelas Jayadi. “Caranya dengan menggunakan criteria obyektif dari KPK. Itu kan cara non politik.”
Selain itu, ada gagasan untuk melibatkan KPK dan PPATK dalam menyaring calon kepala daerah dalam Pilkada yang berlangsung mulai 2015. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada 188 daerah yang akan mengelar Pilkada secara serentak. Proses penelusuran rekam jejak juga bisa dipakai dalam menentukan calon direksi perusahaan pelat merah atau BUMN serta pejabat eselon 1 dan 2 di Kementerian.
Editor: Citra Dyah Prastuti