KBR68H, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, Perpu itu mengamanatkan pembentukan Majelis Pengawas Hakim Konstitusi yang bersifat permanen. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial mendapat wewenang menyusun majelis tersebut. Perpu itu juga mensyaratkan kandidat hakim konstitusi mesti tidak aktif di partai politik setidaknya tujuh tahun sebelum dicalonkan oleh tim ahli. (Baca: Suara Dukungan dan Penolakan Perppu Hakim MK )
"Ini Majelis Kehormatan MK juga memeriksa (Ketua MK non-Aktif) Akil dan bisa menjatuhkan sanksi. Bedanya, yang itu ad hoc dan ini permanen. (Kenapa memilih tujuh tahun, bukan lima?) Lima tahun itu, KPU lima tahun, Hakim Konstitusi lebih lama dari KPU. Kalau 10 tahun terlalu lama, nanti dikira melanggar HAM," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ketika dihubungi KBR68H Kamis malam (17/10).
Sementara itu, isi Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja diterbitkan Presiden SBY dinilai sudah tepat. Pengamat politik Gun Gun Heryanto mengatakan salah satu poin yang menyatakan syarat calon hakim MK harus non aktif minimal 7 tahun dari partai politik bisa meningkatkan independensi calon hakim. Namun menurutnya setelah terpilih, hakim MK harus tetap terus diawasi dalam melaksanakan tugasnya.
"kalau misalnya baru 1,2, atau 3 tahun lalu dia masuk jadi hakim MK, saya yakin afiliasi-afiliasi politiknya sangat beririsan dengan berbagai putusan-putusan dia di MK. Dia bilang independen tapi siapa yang tahu misalnya pada saat dia ada urusan putusan di MK yang harus memutuskan tentang beberapa pilkada yang beririsan dengan partai tempat dia bernaung dulunya," jelasnya saat dihubungi KBR68H, Kamis (17/10)
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua MK non-aktif Akil Mokhtar sebagai tersangka korupsi. Ini mengakibatkan munculnya desakan untuk memperbaiki sistem perekrutan dan pengawasan hakim MK. Selama ini, hakim MK diajukan oleh Presiden, Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya, Hakim MK dituding mewakili kepentingan partai politik tertentu. Selain itu, hakim MK tidak mendapatkan pengawasan sama sekali, termasuk dari lembaga pengawas hakim Komisi Yudisial.
Editor: Nanda Hidayat