KBR, Jakarta - Pemerintah selalu menargetkan bisa swasembada beras. Namun, status swasembada beras Indonesia diragukan karena masih impor dan harga naik terus. Berbagai masalah dihadapi sektor pertanian di Indonesia.
Indonesia dua kali mendapat dari Badan Pangan Dunia FAO dan lembaga riset IRRI sebagai negara yang berhasil meraih status swasembada beras. Pertama penghargaan diberikan pada 1984, dan kedua pada 2022 lalu.
Swasembada beras merupakan label bagi negara yang berhasil memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Namun, saat ini produksi beras Indonesia turun, walaupun Indonesia masih menjadi negara produsen beras ketiga terbesar dunia setelah Tiongkok dan India. Produksi beras Indonesia sekitar 34,6 juta ton dengan konsumsi 35,5 juta ton per tahun.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyebut turunnya produksi beras salah satunya karena faktor fenomena iklim El Nino. Indonesia terpaksa harus mengimpor beras untuk memenutup kebutuhan dalam negeri. Salah satu dampaknya adalah kenaikan harga beras melebihi harga eceran tertinggi.
“Harga beras di 86 dari 90 kota yang menjadi sampel survei dari Badan Pusat Statistik semua terjadi kenaikan dan tadi juga sudah disampaikan juga oleh Badan Pangan Nasional, harga beras di atas harga eceran tertinggi atau harga acuan pemerintah (HET), upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan penguatan agar cadangan beras di Bulog betul-betul dalam posisi aman,” ucap Tito dalam Rapat Koordinasi Inflasi Daerah secara daring, Senin (4/9/2023).
Tahun ini Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton beras, termasuk untuk bantuan beras terhadap 21 juta warga miskin.
Baca juga:
- Swasembada Beras, Mentan Janjikan Fasilitas untuk Petani
- Swasembada Beras, Pakar: Produksi Justru Turun
https://kbr.id/nasional/08-202...
https://kbr.id/nasional/08-202...
Soal pasokan, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengklaim ketersediaan 12 komoditas pangan salah satunya beras dalam kondisi cukup aman. Ia mengatakan naiknya harga beras karena ada masalah di sektor distribusi.
“Dua belas komoditi itu dalam neraca yang ada cukup aman. Bahwa realisasinya masih 6-70 persen tidak memengaruhi ketersediaan seperti di tahun-tahun sebelumnya. Persoalannya kenapa dia naik, ini tentu saja bukan masalah ketersediaan, ini masalah yang terkait distribusi dan sistem logistik kita,” kata Syahrul dalam Rapat Koordinasi Inflasi Daerah digelar daring, Senin (28/8/2023).
Disparitas harga
Dunia perberasan juga menghadapi masalah di sektor rantai pasok yang panjang, dan buntutnya pada naiknya harga di tingkat konsumen. Ada pihak-pihak lain yang masuk dalam rantai pasok seperti pengepul hasil panen gabah, penggilingan padi hingga distributor beras. Proses yang panjang membuat harga beras selama setahun ini terus naik.
Badan Pusat Statistik mencatat pada 2020, disparitas (perbedaan) harga beras di tingkat produsen dan konsumen cukup tinggi yakni 21,47 persen.
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengatakan perlu ada pemotongan proses distribusi beras untuk meminimalkan selisih harga dari tingkat produsen hingga sampai ke konsumen.
Sutarto mengatakan pemerintah sebenarnya sudah memiliki program bernama korporasi petani untuk mengatasi masalah distribusi. Namun ia tidak tahu seberapa efektif korporasi petani ini untuk memangkas alur distribusi beras yang panjang tersebut.
“Nah bagaimana memotong mata rantai agar yang 21 persen itu bisa (dipangkas), yang dibagi-bagi di mata rantai yang panjang ini bisa dilakukan dengan baik. Tentunya harus ada konsep, nah konsep ini sebenarnya pemerintah sudah mengadakan kegiatan yang disebut dengan korporasi petani. Tapi jangan sampai korporasi petani itu, korporasi yang menguasai petani. Ini yang saya kira tidak boleh terjadi,” kata Sutarto.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2018, korporasi petani adalah kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki petani.
Tujuan korporasi petani adalah mewujudkan suatu usaha pertanian yang mandiri, berdaya saing, berkesinambungan melalui pengelolaan lahan secara korporasi dengan memanfaatkan peluang sumber daya dan kelembagaan masyarakat yang ada secara optimal.
Masalah lain adalah faktor pupuk sebagai pendukung penting bagi petani. Anggota Komisi bidang Pertanian di DPR RI, Slamet meminta pemerintah mengucurkan anggaran subsisi pupuk hingga Rp70 triliun guna mengatasi kelangkaan pupuk yang dikeluhkan petani.
Saat ini pemerintah baru menganggarkan Rp26 triliun untuk pupuk bersubsidi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Slamet mengatakan banyak keluhan dari petani soal kelangkaan pupuk karena pemerintah tiap tahunnya belum memenuhi 100 persen sesuai kebutuhan pupuk petani.
“Dalam forum terhormat ini saya juga sampaikan kalau kita bicara produktivitas, keberpihakan kepada petani, mohon kepada pak presiden melalui pak menteri nanti disampiaikan, subisidi pupuk ini harus dipenuhi 100 persen, tidak ada kata lain,” kata Slamet dalam rapat kerja dengan Kementerian Pertanian, Rabu (30/8/2023).
Editor: Agus Luqman