KBR, Jakarta – Pekan ini publik diramaikan dengan pro kontra pernyataan Presiden Jokowi soal data intelijen partai politik yang diterimanya dari Badan Intelijen Negara (BIN). Data parpol ini dinilai beberapa pihak berpotensi disalahgunakan untuk tujuan politik presiden dan bisa mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Bagaimana selengkapnya?
Selain itu, penolakan atas kapel GBI Cinere Bellevue, Depok baru-baru ini masih hangat jadi perbincangan warganet khususnya pembahasan seputar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Meskipun negara menjamin kebebasan setiap warga negara memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Terkait itu, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (Ranperpres PKUB) untuk memperkuat sejumlah aturan yang ada masih terus digodok. Selengkapnya akan dibahas bareng Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan.
1. Perkara Data Parpol
Data internal parpol yang diterima Presiden Jokowi terkait data, angka, survei hingga arah langkah partai politik. Data lengkap tersebut, menurut Jokowi, diperolehnya dari laporan sejumlah badan intelijen antara lain Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri, dan Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Merespon pernyataan Jokowi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai ada indikasi penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara. Sementara, Pemerintah menyatakan tiap kepala negara berhak mendapatkan informasi intelijen terkait partai politik.
Baca juga:
- Soal Data dan Informasi Intelijen, Jokowi: Laporan Rutin
- Koalisi: Presiden Jokowi Diduga Melanggar Undang-Undang Intelijen
2. Ranperpres PKUB
Penolakan terhadap kapel GBI di Cinere Bellevue, Depok pada Sabtu (16/9) menambah daftar panjang konflik keagamaan. Sejumlah warga menggelar aksi protes dengan mendatangi kapel dan mendorong pagar ruko. Sedangkan pihak kapel menyatakan mereka sudah memenuhi persyaratan yang diminta.
Sejalan dengan hal ini, Ranperpres PKUB sedang disusun oleh pemerintah dengan maksud memfasilitasi umat beragama agar bisa beribadah dan mempermudah dalam pendirian rumah ibadah. Namun, ada salah satu poin dalam ranperpres tersebut soal syarat keharusan dukungan 60 orang luar jemaat dan 90 orang dari jemaat sendiri. Menurut Setara Institute hal tersebut diskriminatif.
Baca juga:
- Meski Disorot Jokowi, Gangguan Kebebasan Beribadah Terus Terjadi
- Marak Konflik Keagamaan, Tito: Peran FKUB Tidak Jalan
Dengarkan bahasan selengkapnya di FOMO Sapiens pekan ini bersama Ian Hugen dan Aika. Akan ada juga obrolan soal fenomena toko offline sepi pengunjung.
*Kami ingin mendengar saran dan komentar kamu terkait podcast yang baru saja kamu simak, melalui surel ke podcast@kbrprime.id.