KBR, Jakarta- Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Gatot Eddy Pramono meluruskan pernyataannya soal pelibatan preman pasar dalam menegakkan protokol kesehatan. Ia membantah akan merekrut preman-preman di pasar untuk menegakan peraturan daerah (perda) mengenai protokol kesehatan.
Menurutnya, pelibatan preman merupakan salah satu upaya Polri membangun kesadaran kolektif berbasis komunitas. Tak hanya preman yang dilibatkan, namun juga ada pimpinan informal dan formal lain seperti perkantoran hingga komunitas hobi.
"Tapi ada pasar-pasar tradisional, realitas di masyarakat kita, pasar tradisional itu nggak ada tuh yang pimpinan realitasnya mungkin ada yang menyebutnya kepala keamanannya, ada yang menyebutnya mandor di situ, ada yang menyebutnya jeger, ada juga preman. Nah mereka ini kan setiap hari di sana," kata Wakapolri Gatot Eddy Pramono saat rapat di DPR, Senin (14/9/2020).
Wakapolri melanjutkan, "Bukan kita merekrut preman, itu yang keliru. Tapi kita merangkul mereka-mereka pimpinan-pimpinan informal yang ada di komunitas itu. Untuk bersama-sama kita membangun suatu kesadaran kolektif untuk mematuhi protokol Covid-19. Jadi mereka tidak menegakkan perda."
Terpisah, juru bicara Mabes Polri Awi Setiyono menambahkan, upaya melibatkan unsur komunitas diharapkan bisa lebih efektif dalam penegakkan protokol kesehatan. Kata dia, penegakkan protokol kesehatan tidak bisa sepenuhnya bergantung pada aparat TNI maupun Polri. Melainkan dibutuhkan pemberdayaan komunitas agar lebih dekat dalam menyampaikan pesan.
"Jadi oleh mereka dan untuk mereka. Itu yang disampaikan Wakapolri, sehingga ada yang melintir larinya ke preman. Sebenarnya komunitas itu melibatkan tokoh-tokoh formal, informal, ada ulama, tokoh-tokoh yang di lingkungan situ disegani," katanya dalam diskusi virtual, Senin (14/9/2020).
Sebelumnya, pernyataan Wakapolri mengenai pelibatan preman pasar disampaikan saat memberi arahan di Mapolda Metro Jaya, 10 September lalu. Ia mengatakan bakal melibatkan jeger (preman, red) dalam penegakkan disiplin protokol kesehatan.
Sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta, seseorang yang melanggar protokol kesehatan bisa dikenai denda mulai Rp250 ribu hingga Rp1 juta. Sementara bagi pelanggar pelaku usaha, bisa dikenai denda mulai dari Rp50 juta hingga maksimal Rp150 juta.
Editor: Rony Sitanggang