KBR, Jakarta - Kemajuan teknologi memang memudahkan dalam banyak hal, termasuk dalam hal meminjam uang. Pinjam uang kini bisa dilakukan secara online. Jasa keuangan online ini dikenal dengan istilah FinTech, atau Financial and Technology. Cukup mengunduh aplikasi peminjaman online di telepon pintar dan mengisi data, uang bisa cair dalam beberapa hari. Peminjaman uang juga secara online ini dilakukan tanpa jaminan.
Namun dalam perjalanannya muncul keluhan dari para nasabah, salah satunya terkait cara penagihan yang dilakukan perusahaan. Sudah banyak keluhan yang disampaikan terkait cara penagihan yang dianggap kurang menyenangkan.
Mei, seorang perempuan yang menjadi korban penagihan semena-mena oleh pihak Fintech berbagi kisah di program Ruang Publik KBR, Kamis (20/9/2018) lalu.
“Ketika awal minjam
memang sangat mudah ya. Saya hanya disuruh mengumpulkan KTP, NPWP, sama slip gaji, baru diunduh ke aplikasi
fintech-nya. Tapi kok kenyataannya saat kita telat bayar, itu mereka
sangat-sangat keji cara menagihnya”, terang Mei kepada KBR.
Mei yang juga bagian dari Forum Komunikasi Korban Fintech, mengakui bunga dari hasil peminjaman fintech sangat tinggi. "Tidak sama seperti Bank Indonesia,"jelasnya.
Ia melanjutkan dirinya memiliki 12 aplikasi peminjaman dengan masa peminjaman uang berkisar 7 hari dan 14 hari. Penambahan jumlah aplikasi tersebut didorong oleh desakan debt collector (DC) ketika mereka mulai melakukan penagihan.
“Jadi kita mengunduh satu aplikasi, ketika kita telat bayar dan ditagih sama DC, mereka menyarankan unduh aplikasi lainnya. Jadi seperti gali lubang tutup lubang aja. Dan yang paling kita sesalkan adalah cara nagih DC-nya yang keji banget”, ungkapnya.
Mei merasa dirugikan sebab menurutnya perusahaan Fintech bisa semena-mena mengakses seluruh kontak yang ada di telepon kontaknya. Ia menuturkan, penagih utang akan menghubungi semua kontak yang di teleponnya. Tak segan mereka menggunakan kalimat bernada ancaman.
Bukan hanya kerabat terdekat Mei yang dihubungi para penagih utang, mereka juga menghubungi perusahaan tempat ia bekerja. Akibatnya Mei diminta mengundurkan diri dari perusahaan.
"Saya bahkan sampai pernah diminta untuk menjual diri supaya bisa bayar tagihan,"ujarnya.
Tongam L. Tobing, Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan pihaknya memang sering menerima laporan terkait perusahaan fintech ilegal. Ia mengatakan bahwa saat ini perusahaan fintech yang terdaftar resmi di OJK hanya berkisar 67 perusahaan.
Pihak OJK sendiri pada bulan Juli 2018 lalu, telah membuat laporan kepada Kabareskim terkait 227 perusahaan fintech ilegal. Mereka kemudian mendesak Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs dan website mereka, serta mendesak pihak Google agar menghapus aplikasi tersebut dari layanan unduh mereka. Laporan tersebut berlanjut hingga bulan September ini, ketika mereka menemukan lagi 182 perusahaan fintech ilegal.
“Kami sudah membuat laporan kepada Kabareskim, Kominfo, serta Google dengan hasil seluruh aplikasi fintech ilega tersebut sudah di-take down”, terang Tongam.
Terkait penagihan yang dilakukan oleh perusahaan fintech ilegal, Tongam mengatakan jika sudah merasa diancam dan diintimidasi, masyarakat bisa melaporkannya ke kepolisian langsung. Ia menegaskan mekanisme penagihan tersebut memiliki aturan dan etika yang jelas, seperti tidak berkata kasar dan menyebarkan data-data peminjam uang.
Tongam mengimbau masyarakat yang ingin melakukan pinjaman uang melalui aplikasi, harus melakukan pengecekan apakah perusahaan fintech tersebut legal dan terdaftar di situs resmi OJK.
“Kerahasian dan keamanan data peminjam menjadi hal yang sangat dipegang oleh para perusahaan fintech yang secara resmi terdaftar di OJK”, tutup Tongam.(Mlk)