KBR, Jakarta- Pemerintah memperkirakan defisit anggaran akan membengkak 0,2 persen atau menjadi 2,7 persen (sebelumnya 2,5 %) tahun ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, hal tersebut dikarenakan bertambahnya pengeluaran untuk penggantian biaya operasi kegiatan hulu migas (cost recovery).
"Kita melihat sampai dengan Juli realisasi cost recovery yang dilaporkan telah mencapai 6,5 miliar USD. Sementara Di APBNP hanya dianggarkan sebesar 8 miliar USD. Oleh karena itu kemungkinan bahwa cost recovery akan melebihi yang ada di dalam APBNP sebesar 8 miliar USD, akan memberikan tambahan pengeluaran yang kemudian akan mengurangi penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari SDA (sumber daya alam)," kata Sri Mulyani di kantor Presiden, Jumat (16/9/2016).
Sri Mulyani menambahkan, hingga Agustus, penerimaan negara tercatat mencapai 46 persen (46,1 persen) dari target Rp 1.784,2 triliun di APBNP. Kata dia, pemerintah akan memantau dengan teliti perkembangan penerimaan beberapa bulan ke depan.
"Karena dia akan menentukan berapa pada akhirnya jumlah kemampuan kita untuk membelanjai seluruh pengeluaran-pengeluarn yang telah dikomit oleh pemerintah," jelas perempuan yang akrab disapa Ani ini.
Belanja Kementerian Lembaga
Sementara di sisi belanja, menurut Sri Mulyani, terjadi percepatan dalam penyerapan anggaran di kementerian dan lembaga. Ia memperkirakan penyerapan bakal lebih tinggi dari tahun lalu dan mencapai 97 persen (97,1%).
"Banyak K/L (kementerian dan lembaga negara) yang nampaknya cukup cepat melakukan penyerapan anggaran pada awal tahun karena perencanaannya makin baik," ujar bekas pejabat Bank Dunia ini.
Terkait dana transfer daerah, Sri Mulyani bersama Kementerian Dalam Negeri terus memantau dampak penundaan dana alokasi khusus dan dana bagi hasil ke daerah. Kata dia, pemerintah bakal mengupayakan pencairan dana pada Desember, apabila kemampuan negara memungkinkan.
"Terutama untuk daerah-daerah yang saat ini memang merasakan penundaan DAU ini sangat menekan APBD-nya," ujar dia.
Editor: Rony Sitangang