KBR, Jakarta - Kepolisian Indonesia mengklaim penambahan pasal dalam berkas tuntutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nonaktif Abraham Samad telah dilakukan sesuai prosedur. Juru Bicara Kepolisian Indonesia Agus Rianto menerangkan, penambahan sesuai petunjuk kejaksaan. Pasalnya, berkas yang telah diserahkan ke kejaksaan setempat dikembalikan lantaran dianggap tidak lengkap. Pada saat dikembalikan kata Agus, kejaksaan memberikan catatan kepada penyidik. Salah satunya adalah dimasukkannya pasal tambahan tersebut.
"Proses yang dilakukan oleh Polri kan sudah jelas. Mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, dan akhirnya pelimpahan berkas. Pada saat pelimpahan itu kami tunduk kepada petunjuk, atau koreksi yang diberikan oleh Kejaksaan. Itulah yang dilaksanakan oleh Polri," katanya kepada jurnalis di Mabes Polri.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Ketua KPK Nonaktif Abraham Samad memprotes kepolisian yang memasukkan pasal tambahan ke dalam berkas yang telah diserahkan kembali ke Kejaksaan. Penyidik menambahkan pasal pada kasus Abraham Samad, yakni Pasal 266 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Samad didakwa telah melakukan dugaan pemalsuan surat atau tindak pidana administrasi kependudukan sebagaimana Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana subsider Pasal 264 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana? lebih subsider Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana?.
Dengan penambahan pasal tersebut, maka Abraham Samad terancam hukuman maksimal 11 tahun ?penjara. Karena pada 2 pasal sebelumnya, yakni Pasal 263 dan 264, AS terancam hukuman 4 tahun penjara, ditambah Pasal 266 dengan ancaman 7 tahun penjara.
Adapun, bunyi Pasal 266 ayat (1) adalah sebagai berikut : "Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Editor: Rony Sitanggang