KBR, Jakarta - Novel grafis “Munir” karya Sulaiman Said adalah salah satu upaya untuk melacak jejak yang sudah ditinggalkan oleh pejuang HAM, Munir Said Thalib. Perbuatan apa yang telah dilakukannya sehingga dia dicintai banyak orang? Gagasan apa yang disebarnya sehingga ada seglintir orang yang menghendaki kematiannya? Itu adalah sebagian dari isi novel grafis ini.
Mulanya ini sekadar tugas akhir Sulaiman Said di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2011 lalu. Jika teman-temannya membuat komik yang ringan-ringan, Sulaiman memilih masuk ke zona yang berat, yaitu soal hukum dan HAM.
“Zona jarang disentuh oleh hal-hal yang dekat dengan kesenian. Saya mau mengabungkan keduanya. Saya merasa banyak orang yang malas membahasnya. Itulah akhirnya saya membuat novel grafis ini,” ungkap pria berusia 27 tahun itu.
Sudut pandang Alif
Sejak itu, Sulaiman mulai melahap banyak buku dan menonton film dokumenter tentang Munir. Dia mengakui kalau bagian yang menceritakan soal anak pertama Munir, Soultan Alif Allende, hanya karangannya saja. Sosok Alif ditampilkan agar berbeda dari buku-buku biografi lainnya.
“Ceritanya mengambil sudut pandang dari Alif saja. Biar tak sama dengan biografi lain, yang bercerita lurus dari awal sampai akhir. Jadi sebetulnya ide memasukkan Alif itu dari saya.”
Meski hanya karangan, istri Munir, Suciwati dalam pengantar di novel ini mengakui cerita yang dibangun membuat dia bisa melihat sosok Alif sebenarnya, yang digambarkan secara proporsional dan detail.
“Cerita yang disuguhkan begitu alami dan mengalir dalam bahasa anak-anak. Atmosfer yang disajikan adalah kerinduan dan kegalauan hati seorang anak yang ingin meleparkan buku sejarah yang kadang penuh ilusi kemapanan dan kehobongan,” tulis Suciwati.
Sulaiman Said menggarap novel ini selama lima bulan. Sebagian besar gambar dan teks di buku ini dibuatnya sendiri. Awalnya, Sulaiman tak punya rencana untuk mempublikasikan buku ini. Namun Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekesan (Kontras) menyukainya dan berusaha mencarikan penerbit.
“Setelah bukunya jadi, saya kasih ke Kontras. Mereka sih yang sebenarnya ingin menerbitkan novel itu. Mereka yang mencari (penerbit). Saya tak tahu caranya, saya cuma tahu bikin saja,” papar Sulaiman.
Munir itu Hebat
Sulaiman berharap lewat buku ini anak-anak muda lebih gampang menyerap informasi soal Munir dan pelanggaran HAM di Indonesia. Agar kiprah dan pergerakan Munir akan terus dikenang dan menjadi bahan pembelajaran bagi semua orang yang tertarik pada penegakan HAM.
“Kalau orang-orang mikir itu tema yang berat, saya mau mau menyajikannya dengan mudah. Apalagi para remaja ada yang tak mau tahu soal itu. Jadi saya mau bikin itu lebih populer di kalangan anak muda.”
Secara pribadi, pria kelahiran 10 April itu menilai Munir adalah orang yang sederhana sekaligus pemberani. Menurutnya, Munir tak serakah, tidak seperti banyak praktisi hukum yang sering muncul di televisi.
“Intinya tidak jadi orang yang serakah, secara dia kuliah hukum. Hukum kan identik sama orang-orang yang pingin cepat kaya. Munir tidak seperti itu. Itu yang membuat saya kagum.”
Terakhir, Sulaiman Said mendedikasikan buku ini untuk Suciwati, Alif dan Diva serta semua orang yang menaruh perhatian pada kemajuan penegakkan HAM di Indonesia.
baca artikel sebelumnya: Novel Grafis Munir, Coretan Melawan Lupa