KBR, Jakarta - Alif sedang bingung, dia belum mengerjakan tugas dari gurunya. Semua murid diminta membuat karangan mengenai tokoh idolanya. Dalam keadaan kepepet Alif ingat abahnya. Namanya Munir Said Thalib.
Itulah pembuka dari novel grafis berjudul ‘Munir’ karya Sulaiman Said. Yang sebetulnya kepepet adalah Sulaiman Said karena harus segera menyelesaikan tugas akhirnya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sulaiman sendiri sebetulnya saat itu belum pernah bertemu Alif, anak pertama Munir (alm).
Novel bergambar setebal 108 halaman ini mengisahkan sepak terjang Munir dalam membela HAM sejak di bangku kuliah sampai menghembuskan nafas terakhir. Cerita dimulai saat Munir kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang. Dia berani menentang almamaternya yang ingin memperluas kampus dengan mencaplok tahan petani.
Munir juga sangat dekat dengan buruh. Ada satu halaman yang menggambar Munir begitu serius mendengar keluh kesah buruh. Padahal buruh itu sekadar curhat soal pacarnya yang diganggu satpam pabrik. Entah adegan ini benar atau tidak, namun lewat gambar itu ditunjukkan betapa dekatnya Munir dengan para buruh.
Niat besar Munir saat itu adalah mengubah pandangan buruh di zaman Orde Baru. Saat itu mereka menanggap bahwa pengadilan hanya milik orang kaya, sementara buruh miskin tak punya hak yang sama di muka hukum.
Salah satu kasus buruh paling terkenal yang pernah ditangani Munir adalah pembunuhan Marsinah. Pembaca diajak mengikuti kronologi penculikan aktivis buruh yang akhirnya ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari.
Pindah ke Jakarta, Munir mulai menangani kasus yang lebih rumit, seperti penculikan aktivis 97/98, kasus Tanjung Priok, Talangsari dan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnnya. Keterlibatan Munir ini mulai membuat gerah petinggi negara yang terlibat dalam kasus-kasus itu.
Saat menjabat Dewan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Cerita berlanjut dengan kepergian Munir ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht. Di penerbangan inilah Munir bertemu dengan pilot ‘sok asyik’ Pollycarpus Budihari Priyanto.
Pejuang HAM itu diracun dengan racun arsenik di pesawat dan meninggal sebelum tiba di Belanda. Kisah ditutup dengan persidangan Pollycarpus dan lolosnya bekas Deputi V BIN Muchdi PR.
Sederhana
Jangan membayangkan goresan di komik ini seperti manga alias komik Jepang atau komik super hero keluaran Amerika Serikat. Sulaiman memilih tarikan garis yang sederhana, bahkan di beberapa bab terkesan asal coret.
Lewat tulisannya, Sulaiman ingin membawa kisah Munir seringan mungkin. “Supaya anak zaman sekarang bisa memahami perjuangan Munir dengan cara yang mudah dimengerti,” katanya.
Harapannya, setelah membaca novel ini, mereka makin ingin tahu siapa itu Munir dan apa yang telah diperbuatnya.
Di setiap beberapa halaman disisipi penjelasan mengenai isi dari bab-bab yang ada di Undang Undang RI tentang hak asasi manusia, misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa dan hak kebebebasan pribadi.
Novel ini menjadi upaya Sulaiman dalam kampanye #MenolakLupa yang ramai digencarkan soal kasus-kasus pelanggaran HAM yang terbengkalai. Belum terungkapnya pelaku utama dalam kasus pembunuhan Munir mencerminkan keaalpaan negara dan buruknya penegakan HAM di Indonesia.
Editor: Citra Dyah Prastuti
Baca artikel selanjutnya: Sulaiman Said Sebarkan Semangat Munir Lewat Novel Grafis