Enam orang warga dan organisasi non pemerintah mengajukan permohonan pengujian UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (29/9). Mereka mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 3 UU Pilkada itu.
Keenam warga Negara tersebut adalah Supriyadi W. Eddyono, Wiladi Budiharga, Indriaswati D. Saptaningrum, Ulin Niam Yusron, Anton Aliabbas, dan Antarini Pratiwi.
Sementara empay organisasi non pemerintah yang mengajukan uji materi adalah International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL).
Keenam warga Negara Indonesia tersebut mengklaim telah mengalami kerugian konstitusional dalam hal-hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Kehilangan hak memilih secara langsung untuk kepala daerah, dan sebagai tax payer (pembayar pajak) telah dihilangkan hak-hak politiknya.
Sementara keempat organisasi non pemerintah tersebut menyatakan kepentingan konstitusionalnya terganggu sepanjang menyangkut pemajuan demokrasi dan pemenuhan serta perlindungan hak asasi manusia. Sebagai hak konstitusional setiap warga Negara dan memastikan tegaknya demokrasi di Indonesia dan pelaksanaan kewajiban Negara (state obligation) dalam melakukan pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai mandate hukum sekaligus perintah konstitusi.
Kesepuluh Pemohon ini memandang bahwa ketentuan Pasal 3 UU Pilkada telah bertentangan dengan UUD 1945 dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1) DPRD bukanlah pemegang kedaulatan tertinggi sehingga pemilihan kepala daerah melalui DPRD bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat;
2) Ketentuan Pasal 3 menciptakan ketidakpastian hukum karena dinamika politik demokrasi hari ini menginginkan agar model pemilihan pemimpin politik dilakukan melalui pemilihan secara langsung karena itu dalam beberapa UU (Pasal 10 UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dan Pasal 65 UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) menegaskan model pemilihan langsung sementara UU Pilkada justru mengatur hal yang berbeda;
3) Ketentuan Pasal 3 UU Pilkada mengingkari prinsip- prinsip pemilihan secara demokratis,
4) Ketentuan Pasal 3 UU Pilkada bertentangan dengan asas-asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;
5) ketentuan Pasal 3 UU Pilkada berakibat pada tidak terpenuhinya prasyarat bahwa pemilihan umum wajib diselenggarakan oleh lembaga yang mandiri; dan
6) ketentuan Pasal 3 UU Pilkada telah menghalangi hak bagi setiap warga Negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, mereeka meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 3 UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945.