Sepuluh tahun sudah kasus pembunuhan Munir berlalu tanpa kejelasan siapa pembunuhnya. PortalKBR menurunkan sejumlah tulisan sebagai untuk mengingatkan kita bersama: pembunuh Munir belum ditemukan.
KBR, Jakarta – Raut wajah Suciwati tetap bersemangat , tidak terlihat lelah apalagi sedih. Senyum ramah dan nada optimisme masih mengalir darinya ketika menyambut Portalkbr yang hendak mewawancarainya. Padahal ia baru saja tiba di Kedai Tempo, Jalan Utan Kayu 68H untuk mengikuti peringatan sepuluh tahun kematian Munir bertajuk "Munir Ada dan Berlipat Ganda", Selasa sore tadi (2/9).
Istri aktivis HAM (Alm) Munir Said Thalib atau Munir itu mengaku tak berhenti berjuang untuk menuntut penuntasan kasus pembunuhan suaminya, yang tewas diracun dalam pesawat maskapai Garuda Indonesia jurusan Jakarta - Amsterdam, 7 September 2004 lalu.
“Saya tetap optimis ketika saya melakukan sesuatu. Makanya saya tetap bersuara mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM bersama teman-teman di Kamisan, misalnya,” ujar Suciwati yang pernah berkecimpung sebagai aktivis buruh itu.
"Aksi Kamisan" dilakukan Suciwati bersama aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan para keluarga korban dalam wadah Gerakan Rakyat Melawan Lupa setiap hari Kamis pukul 16.00 WIB. Mereka berdiri di depan Istana Negara di Jalan Medan Merdeka sambil menyerukan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Di tengah sikap optimisme itu, Suciwati mengakui, selama sepuluh tahun setelah kematian suaminya, pengungkapan kasus ini tidak ada perkembangan.
“Tidak ada orang baru sebagai dalangnya yang dibawa ke pengadilan. Malah yang dijadikan tersangka Muchdi (bekas Danjen Kopassus, Muchdi Purwopranjono, red.) dibebaskan,” kata Suciwati.
Muchdi Pr, terdakwa pembunuh Munir, divonis bebas oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), 31 Desember 2008 lalu. Muchdi dinyatakan tidak terbukti bersalah membunuh Munir. Padahal Muchdi sebelumnya dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan 15 tahun penjara potong masa tahanan.
Namun, ia mengaku memiliki optimisme pada pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi-Jusuf Kalla dengan visi dan misi soal penegakan HAM.
“Di-statement-nya (mereka) akan memberikan pengadilan HAM kepada pelaku pelanggaran HAM, mereka akan membawa penjahat ke pengadilan. Kita lihat saja. Apakah dia hanya bicara lagi kayak SBY yang memberi ‘ruang kosong’ pada kita,” ujar Suciwati.
Pengajaran pada Anak-Anak
Di tengah lambannya penuntasan kasus ini, Suciwati menyatakan tetap mendidik dua anaknya, Sultan Alif Allende (15) dan Diva Suu Kyii Larasati (11) untuk tidak memiliki dendam pada pelaku pembunuh ayahnya.
Suci bercerita, anak sulungnya Alif yang saat itu berusia sekitar tujuh tahun, marah ketika melihat Pollycarpus Budihari Priyanto di dalam persidangan. Kala itu pilot senior maskapai penerbangan Garuda Indonesia itu menjadi terdakwa kasus pembunuhan Munir.
“Saya mau bunuh dia,” kata Suciwati menirukan suara anaknya.
Ia pun kaget namun membiarkan anaknya marah dan menangis. Namun setelah amarahnya reda, ia mengajak anaknya berbicara.
“Bagaimana rasanya marah? ” tanya Suciwati
“Cape. Lelah, sakit,” kata Alif saat itu.
“Menurutmu kita perlu marah terus? Marah kan gak enak. Klo kamu mau bunuh Polly bukannya sama dengan dia. Kamu lihat abah (sapaan anak-anak pada Munir, red.), dia dibela banyak orang karena dia mencintai kemanusiaan. Jadi kenapa menghina diri sendiri? Kamu mau seperti abah atau Polly?” ujar Suciwati.
Sejak saat itu, kata Suciwati, anaknya yang kini siswa SMA kelas XI itu sudah bisa memaafkan para pembunuh abahnya. Hal yang sama juga dialami Diva, yang kini bersekolah di sebuah Pesantren di Malang, Jawa Timur.
Suciwati juga mengaku bangga karena kedua anaknya bisa meniru abahnya yang berani menyuarakan kebenaran.
“Ketika Diva bercerita ada gurunya yang pernah melakukan kekerasan, anak saya berani menegurnya. Klo Alif, ada sesuatu yang salah langung protes,” ujar Suciwati.
Soal masa depan kedua anaknya, Suciwati mengaku membebaskan keduanya. Soal ini juga pernah ia bicarakan bersama Munir, ketika hidup.
“Almarhum dan saya suka ngobrol. Saya tanya, kalau anakmu mau jadi tentara gimana? Dia bilang gak apa-apa, yang penting jadi tentara yang profesional yang tidak menghilangkan nyawa orang dengtan seenaknya,” tutur Suciwati.
Alif, kata Suciwati ingin menjadi sutradara film. Sementara, anak keduanya Diva ingin menjadi seniman.
Upaya Menghidupkan Perekomian Keluarga
Sepeninggalan Munir, Suciwati sempat mendirikan De Ploso, toko pusat oleh-oleh khas Malang di Jalan Panglima Sudirman, Kecamatan Karangploso, Malang pada Juni 2011 lalu. Namun, usaha itu hanya bertahan satu tahun karena tidak ada orang yang bisa dipercaya untuk mengurusnya.
“De Ploso sudah tidak lanjutkan diserahkan ke keponakan. Saya sign (tanda tangan, red.) kontrak konsultan, jadi tidak bisa teruskan usaha. Keponakan keluar karena mau ke Jakarta. Cari orang gak nemu, saya kontrakkan ke salah satu bank swasta,” ujar Suciwati.
Ia mengaku, kini disibukkan oleh pekerjaannya sebagai konsultan.
“Jadi fasilitator di beberapa tempat jadi tim penilai kebijakan riset. (Sedang) nulis buku dan investasi bersama kakak ipar,” jelas Suciwati.
Pekerjaan itu, kata Suciwati, membuatnya meninggalkan rumahnya di Malang ke Jakarta sekali sebulan. Di Jakarta, ia juga bertemu dengan berbagai kalangan untuk pengembangan Omah Munir.
“Omah munir masih berjalan mau bikin lantai dua. Sekarang sudah ada café dna perpustakaan,” tutur Suciwati.
Kini, melalui Omah Munir di Batu, Malang, yang menjadi museum untuk mengenang perjuangan Munir, Suciwati terus lantang menyuarakan penuntasan kasus pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan suaminya.