KBR68H, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Undang-Undang Penodaan Agama yang diajukan oleh warga Syiah, Sampang, Madura, Tajul Muluk.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar mengatakan dasar uji materi tidak jelas. Menurutnya, yang berhak memutus seseorang melakukan penodaan agama adalah peradilan umum yang telah menjatuhkan vonis sebelumnya. Selain itu, pihaknya tak bisa begitu saja membatalkan Undang-Undang tersebut sebelum ada undang-undang baru dari pemerintah.
Meski ditolak, Tajul Muluk mendesak MK membuat aturan jelas mengenai tahapan seseorang yang bisa dianggap telah melakukan penodaan agama. Kuasa Hukum Tajul Muluk, Ahmad Taufik mengatakan, aturan yang ada saat ini memungkinkan orang atau lembaga dengan seenaknya menuduh bahkan memutuskan seseorang melakukan penodaan agama.
"Harus ada SKB tiga menteri misalnya, harus ada tahap seperti itu. Jadi tidak boleh sembarangan. Misalnya ada MUI Jawa Timur menyatakan status sesat atau MUI Tasikmalaya menyatakan suatu ajaran atau seseorang dinyatakan sesat sehingga bisa diambil tindakan hukum. Itu yang menyebabkan suatu ketidakadilan bagi seseorang," kata Taufik
Sebelumnya, kuasa hukum Tajul Muluk meminta MK membatalkan Undang-Undang Penodaan agama. Mereka beranggapan salah satu pasal tersebut tidak menjelaskan bagaimana mengatur perbuatan seseorang itu termasuk dalam pelaku penodaan agama atau tidak.
Tajul Muluk merupakan pimpinan pondok pesantren Syiah Sampang, Madura. Pada 2011, pondok pesantrennya dibakar segerombolan orang anti Syiah. Tapi, dalam kasus ini, Tajul Muluk yang dijadikan tersangka dengan tuduhan penistaan agama.
Editor: Antonius Eko