KBR, Jakarta- Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) membantah bila 2 saksi yang diajukan dalam sidang Pulau F, I, dan K, merupakan anggotanya. KNTI menanggapi keberatan pengacara Pemprov DKI Jakarta yang menganggap 2 saksi nelayan itu merupakan anggota KNTI dan tidak objektif.
Pengurus KNTI, Martin Hadiwinata, menyatakan dua saksi itu memiliki organisasi masing-masing. Organisasi mereka memang masuk dalam wadah KNTI secara nasional, tapi tidak ada ikatan secara hukum.
"Forum Komunikasi Nelayan Jakarta, Komunitas Nelayan Tradisional, dan KNTI ini bagian dari organisasi nasional," paparnya usai sidang, Kamis (11/08).
"Kami memang tidak ada hubungan garis koordinasi. Tapi kami saling sinergi dari KNTI dengan organisasi nelayan yang ada di tingkat lokal," jelasnya lagi.
Martin menambahkan, hubungan organisasi saksi dan KNTI tidak bersifat mengikat. Karena itu, hal semacam itu tidak bisa menjadi bukti hukum dalam persidangan. Kata dia, jika tergugat bersikeras, pihaknya meminta bukti hubungan organisasi itu.
Sebelumnya, tergugat yakni Pemprov Jakarta menuding 2 saksi nelayan merupakan orang KNTI. Pihaknya keberatan karena saksi merupakan bagian dari penggugat.
Dalam persidangan, saksi pertama, Dahwani, awalnya mengaku tidak mengetahui organisasi KNTI. Namun, ketika ditanya apakah Forum Komunikasi Nelayan Jakarta yang dia ketuai merupakan anggota KNTI dia mengiyakan. Namun, setelah tergugat menyatakan keberatan, Dahwani langsung meralat kembali ucapannya.
Contoh
LBH Jakarta menyatakan pembahasan Pulau G dalam sidang Pulau F, I, dan K, adalah sebagai contoh kerusakan lingkungan, dan karenanya harus dipertimbangkan hakim. LBH menanggapi keberatan tergugat bahwa Pulau G tidak relevan dibahas.
Pengacara LBH Jakarta Tigor Hutapea menyatakan ingin menjelaskan potensi kerusakan teluk Jakarta kepada hakim. Salah satunya adalah pendangkalan yang terjadi setelah Pulau G dibangun. Kata dia, Pulau F, I, dan K juga akan memiliki dampak yang sama.
"Pulau G itu kan sebagai contoh. Indikator, ketika Pulau F,I,K dibangun maka yang akan terjadi sama dengan Pulau C, D, dan G yang saya perlihatkan tadi," ungkapnya usai sidang.
"Nah itulah yang ingin kita jelaskan. Indikator Pulau G itu sebagai contoh akan terjadinya kerusakan lingkungan jika Pulau F, I, dan K itu dibangun," jelasnya lagi.
Keberatan
Pihak pengembang reklamasi Pulau F, I, dan K di Teluk Jakarta keberatan dengan pembahasan mengenai Pulau G. Dalam sidang ini, hakim mendengarkan 2 saksi nelayan dari Muara Angke yang dihadirkan penggugat.
Kata pengacara pengembang, Aryanto Haru, kasus Pulau F, I, dan K berbeda dengan kasus Pulau G. Kata dia, jika ada dampak kerusakan lingkungan, tidaklah berkaitan dengan 3 pulau yang dia bela.
"Ini kan sidang Pulau F, I, K, tapi yang sering dipertanyakan dan dibahas itu Pulau G. Padahal kan jelas berbeda antara Pulau G dengan Pulau F, I, dan K," ungkapnya usai sidang di PTUN Jakarta, Kamis (11/8/2016) sore.
"Kenapa akhirnya (penggugat) menyerempet ke Pulau G? Karena Pulau F, I, K, belum ada. Jadi kerusakan, potensi, sehala macam itu memang belum ada," imbuhnya lagi.
Aryanto juga mempertanyakan saksi kedua yang tidak mengetahui lokasi Pulau F, I, dan K, juga Pulau G. Menurutnya, saksi hanya mengetahui ada pengurukan tanah tapi tidak bisa membedakan nama pulau-pulau dan bisa saja tertukar. "Pulau F, I, K sampai hari ini kan belum dibangun," jelasnya.
Hari ini, sidang gugatan izin reklamasi Pulau F, I, dan K digelar dengan agenda keterangan saksi. Penggugat mendatangkan 2 nelayan Muara Angke bernama Dahwani dan Tugimin. Keduanya menjelaskan telah terjadi kerusakan lingkungan di area tangkap mereka dan jumlah tangkapan ikan mereka kini berkurang.
Editor: Rony Sitanggang