Bagikan:

PSHK Tolak Rencana Pemerintah Revisi Aturan 'Merugikan Keuangan Negara'

Pemerintah cukup menyamakan persepsi tentang kejahatan tindak pidana korupsi, bukan mengubahnya.

BERITA | NASIONAL

Rabu, 19 Agus 2015 23:39 WIB

Author

Yudi Rachman

Ilustrasi uang Rupiah. (Antara)

Ilustrasi uang Rupiah. (Antara)

KBR, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menolak rencana Presiden Jokowi merevisi atau menghapus sejumlah aturan yang dinilai menghambat pembangunan, khususnya pasal yang berisi frasa merugikan negara.

Aturan itu antara lain ada di Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Peneliti PSHK Miko Ginting berpendapat pemerintah cukup menyamakan persepsi tentang kejahatan tindak pidana korupsi, bukan mengubahnya. Karena, selama ini persepsi tindak pidana korupsi antara penegak hukum dan lembaga birokrat ada perbedaan.

"Sebenarnya di normanya pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor itu kan inti perbuatan itu, bukan merugikan keuangan negara. Ada kata-kata dapat. Menjadi inti adalah secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain. Jadi, masalahnya bukan di norma, tetapi di penafsiran dan praktik penegak hukum selama ini. Tidak perlu revisi undang-undang," komentar Peneliti PSHK Miko Ginting kepada KBR, Jakarta, Rabu (19/8).

"Yang bisa dilakukan Menkopolhukam adalah menyusun panduan yang kemudian mencoba mereposisi penafsiran terhadap tindak pidana korupsi," lanjut Miko Ginting.

Ia menilai, pemerintah tidak perlu mengkhawatirkan soal dampak penegakan hukum terhadap pembangunan.

Sebelumnya pemerintah berencana menghapus sejumlah aturan yang dinilai menghambat pembangunan, khususnya pasal yang berisi frasa merugikan negara. Rencana itu dilatar belakangi ketakutan pejabat negara atau pemerintah daerah dalam membuat kebijakan pembangunan.

Revisi perlu dilakukan agar pejabat negara maupun pemerintah daerah tak lagi ragu membuat kebijakan terkait pembangunan dengan alasan takut merugikan keuangan negara.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan minimnya penyerapan anggaran daerah selama ini disebabkan Pemda takut dianggap merugikan negara ketika menggunakan anggaran. Untuk itu, pemerintah ingin memperjelas definisi pembangunan, agar tidak multitafsir.

Serapan Anggaran Rendah

Kementerian Dalam Negeri mencatat, pada semester I tahun 2015, rata rata realisasi belanja Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di tingkat provinsi mencapai 25,9 persen. Sedangkan ditingkat kabupaten hanya sebesar 24,6 persen. Padahal pada semester pertama serapan seharusnya sudah mencapai 50 persen-60 persen.

Selain di tingkat daerah, penyerapan anggaran di kementerian dan lembaga juga rendah. Ini yang membuat Presiden Joko Widodo 'menceramahi' para menterinya.

"Data terakhir Menkeu masih 20 persen (penyerapan anggaran). Ini sudah pertengahan Agustus... sudah mau Agustus akhir kok masih 20 persen. Hati hati, jangan ke mana mana dulu. Urus ini yang namanya penyerapan anggaran ini," ujarnya di Kantor Presiden.

Juru Bicara Presiden, Teten Masduki mengatakan kementerian yang serapan anggarannya rendah antara lain, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perhubungan. Rendahnya penyerapan anggaran itu disebabkan beberapa faktor di antaranya regulasi, dan ketakutan pejabat akan dampak hukum jika mereka menerobos aturan untuk mempercepat anggaran. 

Editor: Agus Luqman 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending