KBR, Jakarta - Jika Ada melintas di depan Istana Negara pada Kamis sore, mungkin bisa melihat aksi diam yang dilakukan sekelompok orang. Mereka rajin setiap pekan menggelar aksi ini untuk menuntut negara segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Aksi ini pertama kali dilakukan pada 12 Januari 2007. Salah satu pesertanya adalah Sumarsih. Dia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, yang tewas ditembak pada peristiwa yang dikenal dengan nama Tragedi Semanggi I.
Perempuan itu sudah 360 kali berdiri di depan Istana Negara dalam Aksi Kamisan. Kata Sumarsih, aksi tak sekedar melawan lupa, tetapi juga melawan impunitas. Mereka menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah menyebut bahwa hukum harus ditegakkan.
“Kemudian mengapa kami menggelar aksi diam, suara kami disampaikan melalui tulisan-tulisan yang ada di spanduk dan payung. Payung itu bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Spanduk itu juga berisi tuntutan dan peringatan kepada masyarakat bahwa masih banyak masalah yang dialami rakyat dan belum diselesaikan pemerintah,” kata perempuan berusia 61 tahun itu.
Payung Dirusak, Kami Disuruh Pindah
Rambutnya sudah memutih seluruhnya. Namun, semangatnya mencari jawaban atas kematian anaknya masih menggelora. Harapan sempat muncul saat SBY menerima para pengunjuk rasa pada 28 Maret 2008. Saat itu presiden berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat
Pada 29 September 2011, peserta Aksi Kamisan juga diterima Menko Polhukam. Sang menteri mengatakan telah diberi tugas oleh SBY untuk menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu.
Bulan Mei 2011, tim penuntasan kasus pelanggaran HAM berat telah terbentuk. Tapi sampai sekarang tidak ada kemajuan apa-apa. Bahkan, menurut Sumarsih, Kejaksaan Agung menambah alasan mengapa kasus pelanggaran HAM berat tidak disidik Kejagung. SBY dan seluruh pejabat menghindar menuntaskan kasus-kasus itu
“Bukan Cuma presiden yang menghindar. Negara ini malu karena setiap ada tamu negara yang lewat di depan aksi diam, kami diusir, didorong-dorong. Bahkan payung rusak. Kami juga berulang kali disuruh pindah ke Bundaran HI, Patung Kuda, pintu masuk Monas, tapi kami bertahan di depan istana.”
Diam Bukan Berarti Pasrah
Sumarsih menegaskan, aksi diam bukan artinya pasrah. Bukan juga karena terlalu marah. Diam adalah cara mereka berjuang agar negara mewujudkan penegakan supremasi hukum dan HAM. Mereka juga sudah banyak melakukan lobi, demonstrasi, menerbitkan buku-buku dan lain sebagainya.
Perempuan itu makin bersemangat, karena aksinya didukung oleh banyak orang muda dan sudah meluas ke daerah-daerah lain. Dimulai dari Jakarta, kemudian pada 2013 di Bandung. Berlanjut di Pekanbaru, Depok, Samarinda, Yogyakarta. Kemudian di Cirebon, Palu, dan terakhir di Ternate.
“Aksi Kamisan di daerah itu juga sama dengan yang di Jakarta. Maskotnya payung, jamnya juga sama dari jam 4 sampai 5 sore. Harinya juga sama. Tuntutannya sama. Yang kami tuntut tak hanya pelanggaran HAM berat, tetap juga masalah rakyat yang belum ditangani oleh negara,” katanya.
“Setiap ada kenaikkan tarif, seperti listrik, telepon, jalan tol, kami juga menyikapinya. Aksi Kamisan juga bisa dipakai lembaga lain, misalnya buruh migran untuk menyampaikan tuntutannya. ICW dan Imparsial juga memakai Kamisan ini untuk menyikapi RUU Kamnas.”
Aksi di daerah juga bisa digunakan untuk menyuarakan masalah-masalah yang terjadi di sana. Dia mencontohkan, aksi di Pekanbaru digelar untuk menyikapi kasus kabut asap yang terjadi. Pernah juga mengangkat kasus TKW Wilfrida Soik yang akan dihukum mati