KBR, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Panas Bumi.
Ketua Panitia Khusus DPR untuk Pembahasan RUU Panas Bumi, Nazaruddin Kiemas mengatakan, salah satu poin UU Panas Bumi adalah mengizinkan pengelolaan panas bumi di wilayah hutan produksi dan hutan lindung. Selain itu, pegawai negeri sipil (PNS) masuk sebagai tim penyidik kasus pengelolaan panas bumi.
"Dalam RUU Panas Bumi tidak lagi menjadi bagian dari rezim pertambangan. Sehingga pemenuhan usaha panas bumi tidak lagi bertentangan dengan UU Kehutanan. Pada kawasan konservasi pengusahaan panas bumi dilakukan mekanisme izin pemanfaatan jasa lingkungan," ujar Nazaruddin di Jakarta, Selasa (26/8).
Nazaruddin Umar menambahkan, UU Panas Bumi juga mengatur skema penentuan harga panas bumi. Salah satunya menggunakan skema patokan tertinggi (ceiling price), yakni sekitar US$ 11-12 sen setiap KWH.
Selain itu, setiap pemerintah daerah berhak memperoleh bonus dari keuntungan pengelolaan panas bumi.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan pemanfaatan potensi panas bumi Indonesia yang sekira 30.000 megawatt bisa memenuhi kebutuhan energi nasional selama 30 tahun.
“Kita punya gunung berapi banyak sekali, logikanya di bawah tanah Indonesia ada magma. Logika berikutnya adalah di dekat magma ada panas bumi. Panas bumi bisa menjadi listrik. Teknologinya sudah ada dan mudah,” kata Jero Wacik.
Indonesia memiliki 127 gunung berapi dan potensi panas buminya mencapai 30.000 ribu megawatt. Hingga saat ini baru 1300 megawatt yang dimanfaatkan.
Selama ini hambatan terbesar dalam pemanfaatan potensi tersebut adalah undang-undangnya. Dalam undang- undang yang lama, kegiatan pemanfaatan panas bumi disebut pertambangan, sementara pertambangan dilarang di daerah hutan. Padahal panas bumi semuanya di daerah hutan.
Editor: Antonius Eko