Bagikan:

Aktivis Kesehatan Pertanyakan Aturan 40 Hari di PP Kesehatan Reproduksi

Kalangan pegiat kesehatan reproduksi mempertanyakan aturan aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Produksi alias "PP Aborsi" karena memuat aturan soal pengakhiran kehamilan. Aturan itu sebagai penjabaran Undang-Undang

NASIONAL

Rabu, 13 Agus 2014 23:07 WIB

Author

Anto Sidharta

Aktivis Kesehatan Pertanyakan Aturan 40 Hari di PP Kesehatan Reproduksi

Aktivis Kesehatan, PP Aborsi

KBR, Jakarta – Kalangan pegiat kesehatan reproduksi mempertanyakan aturan aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi karena memuat aturan soal pengakhiran kehamilan. Aturan itu sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Peraturan yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir Juli lalu menyatakan, aborsi kedaruratan medis dan korban pemerkosaan diperbolehkan pada usia kehamilan paling lama 40 hari sejak haid terkahir

Menurut Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta, Maesur Zaky, aturan itu akan sulit diterapkan di lapangan.

“Fakta riilnya berdasarkan  pengalaman, perempuan belum banyak yang sadar di umur minggu itu sudah hamil. Sehingga pada level operasional nantinya peraturan pemerintah ini tidak akan bisa banyak membantu bagi para korban pemerkosaan,” ujar Maesur Zaky ketika dihubungi Portalkbr, Rabu (13/8).

Dari hasil pendampingan korban pemerkosaan di Yogyakarta, kata Maesur, para korban baru sadar dirinya hamil pada usia lebih dari enam bulan.

“Teorinya orang bisa di-testpack setelah ada hormon yang bisa keluar setelah umur tiga-empat minggu. Tapi pada saat itu juga belum terasa apakah dia hamil atau tidak. Gejala-gejala itu kan perlu waktu untuk muncul dan dirasakan oleh perempuan,” kata Maesur.

Karenanya, kata Maesur, perlu ada kebijakan secara spesifik yang secara operasional bisa melihat kasus-per-kasus dan tidak terlalu kaku menerapkan usia kehamilan 40 hari itu itu. Ia berharap aturan soal itu bisa dicantumkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan.

Hambatan di Daerah


Maesur Zaky mengakui, hingga kini pendampingan korban pemerkosaan di berbagai kabupaten/kota di Provinsi Yogyakarta belum berjalan maksimal. Sebab, lembaga yang biasanya menangangi korban pemerkosaan di daerah belum memiliki sistem terkait penanganan korban pemerkosaan yang menginginkan penguguran kandungan atau aborsi.

“Idealnya pemerintah daerah, misalnya bisa meneruskan dalam konteks muatan daerah, bisa peraturan daerah soal kesehatan reproduksi. Atau pada level yang lebih rendah lagi tinggal mengaturnya pada Peraturan Gubernur atau Badan Pemberdayaan Perempuan dan masyarakat,” tutur Maesur.

Aturan teknis, lanjut Maesur, terutama soal skema pelayanan kesehatan reproduksi bagi korban pemerkosaan yang ingin menggugurkan kandungannya.

“Bisa saja, unit pelayanan korban (pemerkosaan) melakukan MoU (Nota Kesepahaman, red.) dengan beberapa pelayanan kesehatan yang memang memiliki pengalaman melakukan aborsi aman,” pungkasnya.

Editor: Anto Sidharta

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending