Bagikan:

Amnesty: SBY Harus Pimpin Penyelesaian Kasus Penghilangan Paksa

KBR68H, Jakarta

NASIONAL

Jumat, 30 Agus 2013 11:52 WIB

Author

Doddy Rosadi

Amnesty: SBY Harus Pimpin Penyelesaian Kasus Penghilangan Paksa

amnesty internasional, SBY, kasus penghilangan paksa

KBR68H, Jakarta – LSM HAM Amnesty International menyerukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  tidak menunda pembentukan Pengadilan HAM untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab terhadap penculikan dan penghilangan paksa atas 13 aktivis politik di 1997-98. Kegagalan yang terus berlanjut untuk menginvestigasi kejahatan-kejahatan ini untuk menemukan keberadaan dan nasib mereka yang dihilangkan. Setelah itu, ketika ada cukup bukti, membawa mereka yang diduga melakukan kejahatan-kejahatan ini ke pengadilan.

Keluarga ketigabelas aktivis politik, semuanya laki-laki; Sonny, Yani Afri, Ismail, Abdun Nasser, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Wiji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Bimo Petrus Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, dan Hendra Hambali, yang dihilangkan pada 1997-98 terus menuntut pemerintah untuk mengungkap kebenaran tentang apa yang terjadi terhadap mereka lebih dari 15 tahun yang lalu. Sembilan lainnya yang ditangkap dan disiksa oleh militer dan kemudian dibebaskan, telah memastikan bahwa paling tidak ada enam dari orang-orang yang hilang tersebut ditahan di dalam fasilitas yang sama.

Pada 2009, DPR RI, berdasarkan laporan di tahun 2006 dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk sebuah Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para tersangka pelaku yang melakukan penghilangan paksa pada 1997-98. Namun, Presiden Yudhoyono belum juga mengeluarkan keputusan presiden yang diperlukan bagi pembentukan pengadilan tersebut.

”Kasus penghilangan paksa 13 aktivis ini merupakan simbol dari impunitas kasus-kasus penghilangan paksa yang telah ada di Indonesia dan selama pendudukan Timor-Leste (dulunya Timor-Timur) pada 1975-99. Para keluarga orang-orang hilang telah bertahun-tahun menyerukan pihak berwenang Indonesian untuk mengungkap keberadaan dan nasib orang-orang yang mereka cintai. Namun demikian, hingga hari ini sedikit kemajuan yang telah dibuat, memperpanjang penderitaan mereka,”kata Josef Benedict, peneliti Amnesty Internasional untuk wilayah Indonesia dan Timor Leste, dalam keterangan pers yang diterima KBR68H.

Di Aceh, para perwakilan korban terus menuntut kebenaran tentang keberadaan dan nasib orang-orang yang dihilangkan atau menghilang antara 1989 dan 2005, dan pemakaman yang layak. Langkah positif oleh DPR Aceh menuju pembentukan sebuah komisi kebenaran di Aceh menawarkan harapan. Namun demikian, ada ketakutan bahwa inisiatif semacam ini akan dihalangi oleh pemerintahan pusat. Sementara itu, pembentukan suatu komisi kebenaran di tingkat nasional masih tertunda dan DPR RI gagal memprioritaskan rancangan undang-undang yang menjadi dasar pembentukan komisi kebenaran tersebut.

Amnesty International juga mendesak DPR RI untuk segera membahas dan mengesahkan undang-undang bagi ratifikasi Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Termasuk membuat deklarasi di bawah Pasal 31 dan 32 yang mengakui kompetensi Komite Penghilangan Paksa untuk menerima dan membahas komunikasi dari atau atas nama para individu.

Menurut pemerintah Indonesia, sebuah rancangan undang-undang untuk meratifikasi Konvensi ini telah diajukan ke parlemen pada Juni 2013. Amnesty International mendesak DPR RI untuk memprioritaskan rancangan undang-undang ini pada  2014 ketika memulai lagi masa persidangan pleno, November nanti. Pengesahan undang-undang ini harus segera diikuti oleh ratifikasi Konvensi, memasukkan ketentuan-ketentuannya ke dalam sistem hukum domestik dan implementasi yang efektif dan menyeluruh dalam kebijakan dan praktik. 

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending