KBR, Jakarta- Pembahasan ribuan poin dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) antara DPR dan pemerintah berlangsung kilat di parlemen.
Sejumlah pasal masih dianggap bermasalah oleh koalisi masyarakat sipil. Tim Substansi KUHAP, Arif Maulana menyebut RKUHAP yang saat ini dibahas DPR RI dan pemerintah sebagai "kitab represi" yang berpotensi melegalkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Sebetulnya KUHAP adalah benteng terakhir perlindungan hak asasi manusia. Ia mengatur bagaimana seseorang bahkan yang dituduh bersalah itu tetap punya hak untuk membela diri dan diperlakukan secara adil dan juga manusiawi," kata Arif dalam acara 'Dengar Cerita Korban: Revisi KUHAP untuk Siapa?' yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP di Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Menurut Arif Maulana yang juga merupakan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), RUU KUHAP yang berlaku saat ini sudah usang dan banyak pasal di dalamnya justru membuka ruang penyimpangan.
"Dan konyolnya alih-alih memperbaiki revisi KUHAP hari ini yang sedang didorong oleh DPR RI dan juga pemerintah justru berpotensi memperparah. Rancangan KUHAP justru mengabaikan prinsip transparansi, tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil, dan memuat banyak pasal-pasal berbahaya yang mengancam hak kita semuanya," katanya.
Akan tetapi, lanjut dia, pembahasan RKUHAP di DPR dibahas dengan sangat cepat. Sebab, 1.676 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya dibahas dalam 2 hari.
“Bagi kami (YLBHI dan Koalisi Sipil), ini menunjukan pengabaian terhadap prinsip penyusunan Undang-Undang yang benar, dan jelas sekali berdampak kualitas pembahasan suatu undang-undang yang akan berdampak terhadap publik,” jelasnya.
Pada sisi lain, pembahasan pasal-pasal RKUHAP sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan lapangan yang selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana. Semisal dalam kasus-kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi serta pembatasan akses bantuan hukum tidak dijamin sepenuhnya dalam RKUHAP.

Pengakuan Keluarga Korban yang Pernah Berurusan dengan Aparat
Salah satu keluarga korban yang bersuara adalah Nursalam, keluarga dari Gamma (17), siswa SMKN 4 Semarang korban rekayasa kasus. Gamma tewas usai ditembak anggota Satres Narkoba Aipda Robig di dekat wilayah Paramount, Semarang Barat, pada Minggu (24/11/2024) dini hari.
Menurut Nursalam, Gama, yang saat itu baru saja mengikuti kegiatan Paskibra di sekolah, disebut sebagai pelaku tawuran dan ditembak karena melawan petugas.
Namun, menurut penuturan kakaknya, narasi tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Gama sempat izin tidak ikut latihan silat karena kelelahan, dan malam harinya justru diketahui sedang bermain di rumah temannya.
Ia hilang kontak sejak pukul 23.00 WIB, hingga esok harinya keluarga menerima kabar dari seseorang yang mengaku polisi, bahwa Gama telah meninggal dan jenazahnya berada di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Pihak keluarga yang datang ke rumah sakit hanya diperlihatkan wajah Gama, karena jenazah telah dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke peti. Keluarga tidak mendapat penjelasan utuh mengenai penyebab kematian dan luka yang dialami.
"Karena kita diperlihatkan rekaman CCTV yang sudah diedit sama aparat jadi rekaman yang diperlihatkan itu sudah gelap tidak kelihatan tanggal 26 malam keluarga inisiatif untuk mencari rekaman bukti rekaman itu sendiri akhirnya kita cari sendiri dan kita temukan bukti rekaman CCTV yang asli dalam arti gambarnya yang terlihat ternyata dari rekaman itu kan motor dia hanya melintas dan ditembak dari tengah," kata Nursalam dalam acara 'Dengar Cerita Korban: Revisi KUHAP untuk Siapa?' yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP di Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Meski begitu, Nursalam mengungkapkan bahwa pihak kepolisian sempat mencoba memberikan uang "tali asih" dan membawa wartawan ke rumah keluarga korban untuk menenangkan situasi, namun hal itu ditolak.
Kini, kata dia, kasus tersebut telah memasuki proses persidangan. Terdakwa dijerat hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
"Karena kejadian ini kalau setiap kali ada sidang saya selalu menghubungi semua media supaya mereka dapat memantau dan pihak-pihak karena kalau tidak ada yang mantau maupun yang mengawasi nanti beritanya itu pasti hilang," kata Nursalam.
"Yang menutupi adalah institusi aparat kepolisian tapi suara kita akan tetap hidup dan tetap akan kita serukan karena kebenaran itu tidak bisa digungkam oleh peluru dan keadilan itu tidak boleh ditunduk oleh seragam,” tambahnya.
Draf RUU KUHAP Justru Melemahkan Prinsip Keadilan
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Arif Maulana menyebut banyak pasal dalam draf tersebut justru melemahkan prinsip keadilan dan memperkuat otoritarianisme.
Beberapa ketentuan yang disoroti antara lain: Pertama, penangkapan oleh polisi bisa sampai 7 hari, melanggar standar HAM internasional.
Kedua, penggeledahan tanpa izin pengadilan dengan kriteria mendesak yang tidak objektif (Pasal 105 jo Pasal 106).
Ketiga, penyadapan sewenang-wenang tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak berdasarkan penilaian subjektif penyidik (Pasal 124).
Keempat, hak memilih kuasa hukum dihapus, penyidik yang menunjuk pengacara jika tersangka tidak mampu sehingga membuka ruang praktik kuasa hukum formalitas atau pocket lawyer (Pasal 145 ayat (1)).
Kelima, TNI dari semua matra dapat menjadi penyidik, termasuk dalam perkara pidana umum (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)).

Catatan Korban Penyiksaan oleh Aparat
Arif pun menyebutkan data YLBHI menunjukan bahwa dalam tiga tahun terakhir tercatat 1.088 korban penyiksaan oleh aparat penegak hukum dan sepanjang 2019-2024 tercatat 154 kasus kriminalisasi dengan total 1.097 korban.
Mereka termasuk mahasiswa, jurnalis, seniman, hingga petani dan buruh. Komnas HAM bahkan menyebut Polri sebagai institusi dengan laporan pelanggaran HAM terbanyak.
LSM Amnesty International juga mencatat adanya 412 aktivis yang ditangkap secara sewenang-wenang hanya karena menyuarakan pendapat.
Arif menyebut ini sebagai bukti bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran serius dan kebebasan sipil terus ditekan.
"Maka dari itu, saya mengajak kepada teman-teman semua, mari kita bersuara, mari kita tolak rancangan Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana abal-abal, dan mari kita satukan suara untuk kemudian menjadi benteng terakhir dari upaya tirani untuk kemudian melegalkan aturan hukum yang sewenang-wenang," jelasnya.
BEM FH UI: RUU KUHAP Jangan Jadi Upaya “Pemutihan” Kekuasaan
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI), Muhamad Fawas juga menyatakan bahwa revisi KUHAP bukanlah bentuk pembaruan hukum, melainkan bentuk "pemutihan kekuasaan."
"Yang diperbarui pada hari ini bukanlah keadilan tapi cara baru untuk melegalkan ketimpangan," kata Fawas dalam acara 'Dengar Cerita Korban: Revisi KUHAP untuk Siapa?' yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP di Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Ia menyoroti bahwa sejumlah pasal dalam draf revisi KUHAP justru membuka ruang pengawasan tanpa batas, penahanan tanpa pertanggungjawaban, penyidikan tanpa perlindungan, dan bahkan memberikan impunitas bagi aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangannya.
"Rakyat nggak diajak bicara. Akademisi dikerdilkan. Masyarakat sipil pun dianggap sebagai gangguan. Lalu dengan entengnya mereka bilang, ini demi reformasi hukum, Kami sudah mendengarkan. Kami sudah mempertimbangkan," ungkapnya.
Fawas juga mempertanyakan, mendengarkan dan mempertimbangkan seperti apa jika pembahasan 1676 DIM dilakukan dalam waktu dua hari. Bahkan bersihnya hanya 10 jam.
"Karena hari ini bukan hanya negara yang menyidik rakyat, tapi rakyat juga akan menyidik negara. Kita sedang menggalakkan inquiri, penyidikan moral terhadap sistem hukum yang selama ini hanya tahu menghukum tapi nggak tahu mendengar. Hari ini korban tidak lagi jadi objek. Mereka akan menjadi subjek dan mereka yang selama ini dibungkam akan berbicara," terangnya.

RUU KUHAP Berpotensi Menambah Kewenangan Tanpa Check and Balances
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menyebut RUU KUHAP sebagai produk hukum yang akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat.
Ia menggarisbawahi bahwa rancangan ini menyangkut bagaimana aparat penegak hukum bisa bertindak terhadap warga sipil, termasuk soal penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan.
“RUU KUHAP ini sangat penting ya, muatan pasalnya untuk kita ketahui bersama karena dampaknya akan kepada masyarakat sehari-hari itu sangat dekat,” ujar Titah dalam Diskusi Ruang Publik KBR, Rabu (16/7/2025).
Ia juga menyoroti lemahnya sistem check and balances dalam penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, wewenang aparat terlalu besar tanpa pengawasan dari lembaga lain, termasuk pengadilan.
“Dalam sistem kita ini tidak ada check and balances, sehingga dalam proses akhirnya banyak kesewenang-wenangan, termasuk juga tindakan-tindakan seperti penggeledahan, penyitaan, pengambilan sampel urin atau tubuh. Ini semua harusnya diatur secara ketat dalam undang-undang untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan,” tambahnya.
Cerita Keluarga Korban Kanjuruhan: “Nyawa Anak Saya Mau Ditukar Gerobak Ayam Geprek”
Sementara itu, Yuliati, ibu dari salah satu korban tragedi Kanjuruhan, menyampaikan kekecewaannya terhadap penegakan hukum yang stagnan bahkan tiga tahun setelah kejadian yang menewaskan 135 orang.
“Selama ini sudah tiga tahun ini masih mandek, belum ada titik terang. Saya sebagai ibu tetap mengejar keadilan untuk anak saya, Kak,” ucap Yuliati dengan suara bergetar dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (16/7/2025).
Ia bahkan mengaku pernah ditawari “pengganti” berupa modal usaha oleh pihak aparat.
“Jadi diiming-imingi mau dikasih modal usaha gerobak ayam geprek atau ternak kambing.. itu kan gimana ya sangat menyakitkan bagi saya seorang ibunya, masa nyawa anak mau ditukar sama gerobak ayam geprek atau kambing? itu gimana itu pemerintah kok seperti itu” ungkapnya penuh emosi.
Yuliati juga mengkritik sistem hukum yang menurutnya hanya berpihak pada kekuasaan. Semua jalur hukum yang ia tempuh, baik ke Bareskrim hingga Komnas HAM, hanya dijawab dengan “sedang dipelajari”.
“Kalau orang kecil seperti kami hanya diputer-puter. Yang nembak gas air mata tidak dihukum setimpal. Hukumannya ringan sekali. Mana keadilan itu?,” tegasnya.

Kasus Kanjuruhan, Potret Buruk Perlindungan Korban dalam KUHAP
Salah satu kritik besar dari ICJR adalah masih berlangsungnya praktik “no viral, no justice” yang artinya kasus hanya direspons jika viral di media sosial.
Titah menilai, hal ini membuktikan bahwa tidak ada sistem yang secara sistematis menjamin perlindungan terhadap korban. Termasuk kejadian-kejadian yang menimbulkan tragedi dan memakan korban jiwa, seperti Kanjuruhan.
“RUU ini mengklaim sudah mengatur hak korban, perempuan, kelompok rentan. Tapi daftar hak saja tidak cukup. Bagaimana mereka mengakses pemulihan ini sama sekali nggak dibahas detailnya. Tadi kita bisa melihat Bu Yuliati sangat berduka ada luka yang itu perlu dipulihkan, kita nggak bicara soal bagaimana secara material ganti kerugian itu diberikan nggak hanya material diberikan kepada korban,” tutur Titah.
“Tapi materialnya juga kayak tadi pemulihan secara psikologisnya yang bisa menerima keadaan menerima fakta soal kehilangan anak ini kan kondisi korban yang harus diperhatikan pemulihannya seperti apa oleh negara dan itu nggak direspon di KUHAP itu bagaimana detail-detail cara mengakses pemulihannya itu nggak ada dan nggak diberikan ruang untuk itu,” imbuhnya.
Dorongan untuk Menunda, Bukan Membatalkan
Koalisi masyarakat sipil mendorong agar pembahasan RUU KUHAP tidak langsung dibawa ke rapat paripurna, melainkan dibuka kembali secara substansial dengan melibatkan publik dan para ahli.
“Jangan sampai juga kita mengebut tapi malah punya RUU yang malah jauh dari produk tahun 1981 produk dari order baru di 40 tahun yang lalu. Ini yang perlu diperhatikan tetap harus dibahas dengan cara yang menyebabkan partisipasi yang bermakna dan betul-betul secara substansial pembahasannya gak asal dikebut saja,” ujar Titah.
Komnas Perempuan: Revisi KUHAP Berorientasi Pada Pemenuhan Hak-Hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBH)
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Maria Ulfah Anshor, menekankan bahwa dalam kerangka KUHAP saat ini, PBH belum memperoleh jaminan perlindungan atas hak-haknya. Hal ini mencakup hak sebagai saksi, korban, tersangka/terdakwa, hingga terpidana, termasuk pemenuhan atas kebutuhan khas perempuan.
“Dalam banyak kasus, perempuan korban kekerasan masih diperlakukan semata-mata sebagai alat bukti, sementara aspek keadilan dan pemulihan atas dampak tindak pidana yang dialaminya belum menjadi perhatian negara,” ujar Ulfah dikutip dari komnasperempuan.go.id
Komnas Perempuan mencatat adanya kesan tergesa-gesa dalam proses pembahasan. Hal ini mengingat waktu yang dialokasikan hanya dua hari (9–10 Juli 2025), padahal terdapat 584 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang memerlukan kajian mendalam dan cermat.
“Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, terutama terhadap kemungkinan kurangnya perhatian pada pasal-pasal yang berdampak langsung terhadap pemenuhan hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum,” tutur Ulfah.

Komnas Perempuan mendorong agar DPR memastikan keterlibatan yang bermakna (meaningful participation) dalam seluruh tahapan pembahasan RKUHAP, baik dari sisi proses maupun substansi.
“Hal ini penting agar RKUHAP yang dihasilkan benar-benar mencerminkan pengalaman dan kebutuhan perempuan pencari keadilan, serta mampu menjawab berbagai persoalan struktural yang selama ini dihadapi PBH dalam sistem peradilan pidana,” jelas Ulfah.
Masih banyak Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum memiliki perspektif gender dan bahkan kerap menganggap korban sebagai penyebab atau sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas tindak pidana yang dialaminya.
“Sementara itu, perempuan yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa juga belum secara optimal memperoleh jaminan atas kebutuhan khasnya, termasuk perlindungan terhadap kerentanan dan risiko ketidakadilan selama proses hukum yang dihadapinya,” tulis pernyataan Ketua Komnas Perempuan.
Soal RUU KUHAP, Jangan Sampai Penanganan Kasus Korban masih Berlarut
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Ratna Batara Munti, menegaskan bahwa berlarut-larutnya penanganan kasus korban merupakan bentuk ‘delayed in justice’, yang memberikan dampak yang tidak ringan terhadap korban.
“Korban merasa lelah secara fisik dan psikis serta kecewa karena merasa diperlakukan tidak adil,” jelas Ratna.
Kedua, pada bab Penuntutan, Komnas Perempuan juga mendorong perluasan kewenangan Penuntut Umum untuk memberikan informasi terkait hak-hak korban dan tersangka, merujuk korban ke layanan pemulihan, serta melibatkan tenaga ahli saat menyusun dakwaan.
“Penuntut juga diharapkan menghindari penggunaan uraian yang vulgar dalam menjelaskan aspek seksual dan menjalin komunikasi awal dengan korban,” tutur Ratna.
Ketiga, dalam bab keadilan restoratif, Komnas Perempuan menekankan bahwa penerapannya harus berbasis hak asasi manusia dan hanya diberlakukan untuk tindak pidana ringan.
“Restorative justice tidak boleh diterapkan pada kasus kekerasan seksual atau kejahatan berulang, serta tidak boleh menghilangkan hak korban atas pemulihan,” kata Ratna.
Keempat, Komnas Perempuan menolak rumusan dalam RKUHAP yang membuka ruang bagi penangkapan lebih dari 1 (satu) hari. Bahkan, pemerintah disebut mengusulkan perpanjangan masa penangkapan hingga 7 (tujuh) hari.
“Komnas menegaskan bahwa masa penangkapan seharusnya dibatasi maksimal 1 (satu) hari untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi tersangka,” tegas Ratna.

DPR Susun RKUHAP, Disabilitas Merasa Tak Dianggap
Perkumpulan Penyandang Disabilitas Fisik Indonesia (PPDFI) kecewa karena merasa tak dilibatkan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPDFI, Mahmud Fasa menilai pemerintah dan DPR belum menunjukan kepedulian nyata terhadap kebutuhan hukum disabilitas, khususnya disabilitas intelektual.
Menurut Mahmud, meskipun secara usia sudah dewasa, disabilitas intelektual seringkali memiliki kemampuan berpikir dan bertindak seperti anak anak.
"Walaupun usianya 20 tahun, kan, bisa jadi kayak anak-anak, kan, sedangkan di dalam undang-undang, kan, anak-anak kan usianya 17 tahun ke bawah, ya. Kita inginnya kalau disabilitas mental itu walaupun usianya 25 tahun, kan, dia kayak anak-anak kelakuannya itu, loh. Jadi, kita minta pertimbangan untuk yang disabilitas intelektual itu dikelompokkan ke dalam anak-anak." kata Mahmud kepada KBR, Senin, (14/04/2025).
Mahmud mengungkapkan, mereka pernah mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung (MA) agar penyandang disabilitas intelektual bisa diperlakukan seperti anak-anak dalam proses hukum. Namun, permohonan itu ditolak dengan alasan pertimbangan hukum diserahkan sepenuhnya kepada hakim.
Mahmud juga menyoroti Pasal 137 ayat 1 di RKUHAP yang menyebut disabilitas berhak atas pelayanan dan sarana prasarana berdasarkan ragam disabilitas dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Namun, hal itu selama proses hukum berlangsung masih belum layak, mulai dari akses fisik ke pengadilan, penyediaan penerjemah bahasa isyarat, hingga pendamping hukum yang memahami kebutuhan para penyandang disabilitas.
Tak Dilibatkan Juga dalam KUHP
Mahmud menegaskan, meski DPR mengklaim akan melindungi hak kelompok rentan termasuk disabilitas, tetapi nyatanya mereka tidak dilibatkan dalam tahapan regulasinya. Ia menyebut yang dilibatkan hanya dosen, profesor dan sebagainya yang memang tidak mengerti kebutuhan disabilitas.
Sebelumnya, kata dia, disabilitas juga tidak dilibatkan dalam perencanaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Alhasil, setelah undang-undang disahkan dan menimbulkan masalah dalam penerapannya, mereka baru bisa mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, hal itu tak perlu terjadi atau mungkin bisa dicegah jika mereka dilibatkan dari awal.
"Jadi, kami kan sudah punya prinsip bahwa jangan bicara kami tanpa kami, artinya yang ngerti kebutuhan kami itu hanya kami, bukan orang luar. Jadi, kalau pemerintah atau DPR mengatakan bahwa peduli dan perhatian kepada kelompok disabilitas, libatkan kelompok disabilitas dalam pembahasan undang-undangnya, baru kita nyatakan sebagai kepedulian," tegasnya.

Komisi III DPR Bantah Kebut Pembahasan RKUHAP
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menolak pernyataan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP disebut ugal-ugalan karena draf atau dokumen terkait disembunyikan yang membuat publik sulit mengaksesnya.
"Jadi enggak ada yang sama sekali disembunyikan. Jadi saya menolak keras kalau proses penyusunan RUU ini disebut ugal-ugalan. Mungkin yang mengkritik lah yang mengkritiknya ugal-ugalan," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Sebaliknya, dia menyebut bahwa DPR RI menjadi salah satu institusi negara yang paling transparan sebab jalannya rapat-rapat disiarkan secara langsung sehingga bisa disaksikan oleh publik.
"DPR saat ini adalah salah satu institusi yang paling transparan. Jangankan hasil rapat, kami bisik-bisik saja bisa kedengaran kemarin waktu live, pak. Kami bisik-bisik kanan-kiri dengan teman saja terdengar," ucapnya.
Dia pun meluruskan bahwa dokumen atau draf terkait RUU KUHAP sudah diunggah oleh pihaknya, tidak hilang, serta tetap dapat diakses di situs resmi DPR RI.
"Kami selalu mengupload, setiap upload segera mungkin setelah kami memperoleh dokumen tersebut," ujarnya.
Meski demikian, dia tak menampik bahwa situs resmi DPR RI sempat mengalami server down sehingga muncul isu yang berkembang di publik bahwa draf RUU KUHAP tidak dapat diakses.
"Perlu saya jelaskan kemarin sempat down website kami, tapi hanya dalam waktu tidak sampai satu jam sudah diperbaiki kembali. Nah kemudian ada pemberitaan draf RUU tidak ada tidak bisa diakses, draf RUU KUHAP," tuturnya.
Setelah dilakukan pengecekan usai server down, dia menyebut bahwa draf RUU KUHAP pun masih tetap ada dari situs resmi DPR RI serta dapat diakses oleh publik.
"Dokumen tersebut dalam draf RUU-nya; lalu dokumen DIM, daftar inventarisasi masalah; dokumen hasil rapat panja (panitia kerja); dokumen hasil perumusan timus (tim perumus) dan timsin (tim sinkronisasi); dan dokumen hasil RDPU (rapat dengar pendapat umum) bahkan ada semua di website DPR," tuturnya.

Habiburokhman menuturkan pula bahwa cara mengunduh draf atau dokumen RUU KUHAP pada situs resmi DPR RI sedianya terbilang cukup sederhana dengan mengetikkan nama dokumen yang dicari dalam mesin pencarian yang tersedia.
"Tadi sudah disimulasikan oleh teman-teman mekanisme pengunduhannya dan cara yang lebih cepat untuk mengunduhnya sudah disimulasikan," paparnya.
Selain itu, dia menambahkan apabila terdapat kendala maka terdapat pula fitur smart assistant pada situs DPR RI untuk membantu mengatasinya.
"Jadi sampai akhirnya kalau pun mentok ada smart assistant lagi, smart assistant itu komunikatif bisa menjawab dengan detail memberikan arahan cara mengunduhnya," kata dia.
Poin-poin Krusial RUU KUHAP yang Dicatat Koalisi Masyarakat Sipil
Mengutip dari ylbhi.or.id, catatan YLBHI bersama koalisi masyarakat sipil untuk pembaruan KUHAP terhadap pembahasan RKUHAP menemukan setidaknya beberapa persoalan krusial diantaranya:
- Polri jadi makin superpower dalam proses penyidikan membawahi Penyidik non-polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi Penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Syarat kepangkatan, pendidikan, dan sertifikasi akan diatur dengan peraturan (Pasal 6 s/d 8 jo Pasal 20);
- TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana. (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)). Ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi Penyidik dalam Tindak Pidana Umum;
- Polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini berbahaya karena bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1×24 jam;
- Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin Pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada Penyidik;
- Alasan penahanan dipermudah. Jika dianggap tidak bekerjasama dalam pemeriksaan atau dianggap memberikan informasi tidak sesuai fakta dapat ditahan oleh Penyidik. (Pasal 93 Ayat (5));
- Penggeledahan sewenang-wenang dilegitimasi. Penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin Pengadilan jika dalam keadaan mendesak dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 105 jo Pasal 106);
- Penyitaan sewenang-wenang dilegitimasi. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik. (Pasal 112 Ayat (3));
- Pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen. Jika Penyidik mengabaikan laporan, masyarakat hanya diarahkan untuk mengadu kepada atasan Penyidik atau pejabat pengawas penyidikan — itupun baru bisa dilakukan setelah 14 hari. Mekanisme ini sepenuhnya berada di lingkup internal kepolisian, yang selama ini terbukti gagal menangani pelanggaran, terutama jika pelakunya adalah anggota kepolisian itu sendiri;
- Keadilan untuk semua hanya akan jadi jargon karena bantuan hukum tidak untuk semua orang, hanya untuk tersangka yang tidak mampu atau tidak mempunyai advokat sendiri yang diancam pidana kurang dari 5 tahun. Sedangkan bantuan hukum untuk kelompok rentan tidak diakomodir;
- Hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru Penyidik yang akan menunjuk pengacara — bukan si tersangka yang memilih. Ini membuka ruang praktik kuasa hukum formalitas atau pocket lawyer, yang hanya jadi pelengkap tanpa membela kepentingan hukum tersangka. (Pasal 145 ayat (1));
Desakan kepada Pemerintah dan DPR
Berdasar uraian LBH/YLBHI Se Indonesia mendesak :
- Presiden dan Ketua DPR untuk menghentikan dan menarik kembali pembahasan RKUHAP, Harus Mengulang Kembali dan membuka ruang terbuka bagi publik dalam tahapan Perumusan dan Pembahasan RKUHAP.
- Melakukan Kajian Akademik secara serius dan mendalam dengan melibatkan Publik luas, Universitas, Fakultas, dan Akademisi, melibatkan Lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, Komnas Perempuan, LPSK, KPAI, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Informasi Publik, Melibatkan organisasi-organisasi Bantuan Hukum, Organisasi Advokat, Organisasi Hak Asasi Manusia lainnya, dan korban-korban dari penyalahgunaan kewenangan aparat penegak hukum;
- Mendorong seluruh warga negara, pemerhati hukum, korban dan penyintas kejahatan dan pelanggaran aparat penegak hukum, akademisi dan universitas, gerakan masyarakat sipil, dan seluruh elemen bangsa dengan cepat dan seksama memperhatikan dan terlibat aktif dalam pembahasan RKUHAP yang sangat berdampak pada kehidupan sehari-hari.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Hapuskan Pasal Larangan Siaran Langsung saat Sidang di RKUHAP