KBR, Jakarta- Temuan dugaan beras oplosan belakangan ini memantik perhatian publik. Dugaan beras tidak sesuai mutu, hingga kecurangan takaran ditemukan oleh Satgas Pangan Polri.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai polemik pengoplosan distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang diungkap pemerintah memunculkan banyak pertanyaan.
Ia mendorong kejelasan konteks waktu terjadinya praktik tersebut serta menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pangan nasional.
Khudori mempertanyakan validitas klaim pemerintah yang menyebut 80% beras SPHP telah dioplos dan hanya 20% yang murni.
"SPHP itu disalurkan Januari dan minggu pertama Februari, berapa jumlahnya? 181 ribu. Jadi setelah minggu pertama Februari itu, itu dihentikan. Sampai ada keputusan 2-3 hari terakhir ini disalurkan kembali. Jadi setelah Februari minggu pertama itu, sampai kemarin setelah disalurkan lagi 2-3 hari belakangan ini, itu nggak ada penyaluran lagi," kata Khudori kepada KBR Media, Selasa (15/7/25).
Ia menilai, peluang terjadinya pengoplosan tahun ini relatif kecil karena penyaluran SPHP sempat dihentikan sejak awal Februari dan baru dilanjutkan beberapa hari terakhir.
Pemerintah Janji Tindak Tegas Pelaku Beras Oplosan
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan pemerintah tidak main-main terkait dengan temuan beras oplosan dan akan menindak tegas sebagai upaya melindungi petani dan masyarakat pada umumnya.
Amran menyebut pihaknya sudah menyurati Kapolri dan diskusi dengan Jaksa Agung terkait dengan beras oplosan.
"Sekarang sudah diperiksa. Ada 212 merek dan kami menyurati Kapolri. Kami juga sudah diskusi langsung dengan Jaksa Agung. Sekarang ada Satgas Pangan, kami sama-sama sekarang," katanya saat kunjungan kerja di lahan HGU Jengkol, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Selasa (15/7/2025) dikutip dari ANTARA.

Mentan mengungkapkan saat ini petugas terkait sudah memeriksa 25 pemilik merek beras kemasan tersebut. Mereka diperiksa secara maraton.
Pihaknya juga yakin bahwa kasus itu akan ditindak tegas karena merugikan konsumen sekitar Rp99 triliun atau hampir Rp100 triliun per tahun.
"Menurut informasi yang kami terima beberapa daerah sudah menurunkan harga sesuai HET (harga eceran tertinggi) dan juga kualitasnya sesuai standar," kata dia.
Dirinya juga meminta kepada pengusaha untuk sadar dan tidak zalim ke petani dan konsumen.
"Yang menengah ke atas masih aman tapi yang menengah ke bawah di garis kemiskinan kasihan. Kita harus peduli ke saudara kita. Siapa yang mau menjaga bangsa ini kalau bukan kita semua," ujar dia.
Puluhan Saksi Diperiksa, Belum Ada Tersangka
Satgas Pangan Polri mengatakan telah memeriksa sebanyak 22 saksi terkait dugaan adanya produsen beras nakal yang melanggar mutu dan takaran beras.
“Total saksi yang telah diperiksa saat ini ada 22 orang,” kata Ketua Satgas Pangan Polri sekaligus Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Helfi Assegaf kepada awak media di Jakarta, Selasa (15/7/2025) dikutip dari ANTARA.
Dari jumlah tersebut, penyidik pada Satgas Pangan Polri telah memeriksa saksi-saksi dari enam perusahaan dan delapan pemilik merek beras kemasan lima kilogram. Akan tetapi, nama-namanya tidak diungkapkan.

Jenderal polisi bintang satu itu mengatakan bahwa pemeriksaan tersebut untuk mendalami terkait dugaan pelanggaran mutu dan takaran pada beras kemasan.
“Pemeriksaan tersebut untuk pendalaman ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum atas dugaan penjualan beras dalam kemasan yang tidak sesuai komposisi yang tertera pada kemasannya,” ucapnya.
Adapun untuk hari ini, Brigjen Pol. Helfi mengungkapkan bahwa penyidik kembali melakukan pemeriksaan. Saksi yang dipanggil adalah 25 pemilik merek beras kemasan lima kilogram.
Terkait apa saja merek beras tersebut, dia tidak membeberkannya.
Sebelumnya, pada Kamis (10/7), Satgas Pangan Polri memeriksa empat produsen beras yang diduga melanggar mutu dan takaran sebagai langkah penyelidikan.
“Betul, dalam proses pemeriksaan,” kata Brigjen Pol. Helfi saat dikonfirmasi.
Empat produsen beras itu berinisial WG, FSTJ, BPR, dan SUL/JG.

DPR Minta Proses Hukum Tegas
Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah mengusut tuntas kasus dugaan beras oplosan yang melanggar mutu dan takaran agar tidak merugikan masyarakat.
"Kupas dan selidiki dengan tuntas terkait dengan beras oplosan. Jadi jangan sampai kemudian terkait dengan beras ini merugikan rakyat," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, dikutip dari ANTARA.
Dia juga menekankan agar aparat penegak hukum segera memproses lebih lanjut terhadap para produsen nakal tersebut.
"Saya melihat sudah dilakukan tindak lanjut terkait dengan beras oplosan ini, bahwa kalau kemudian ada pihak-pihak yang melakukan hal tersebut harus langsung ditindaklanjuti. Diproses secara hukum, jangan sampai kemudian merugikan rakyat," ujarnya.
Terpisah, Ketua Komisi IV DPR Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto menyampaikan keprihatinan atas temuan dugaan beras oplosan yang melanggar mutu dan takaran di tengah swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah.
"Kami prihatin ya zaman sekarang masih ada yang oplos-oplos perusahaan besar lagi ya. Saya rasa harus ditindak supaya ada efek jera. Kita semua lagi ingin swasembada, ingin meningkatkan pangan," kata Titiek di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, dikutip dari ANTARA.
Meski demikian, dia menyebut Komisi IV DPR RI belum akan melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lapangan untuk mengecek langsung peredaran beras oplosan di pasaran.
"Belum, kami masih sibuk urusan (rapat) anggaran," ujarnya.

Pengamat Menyayangkan Longgarnya Pengawasan
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menilai adanya masalah serius dalam pengawasan. Pasalnya, angka pelanggaran yang disebut mencapai 80% dinilai tidak sejalan dengan kondisi distribusi beras SPHP tahun ini.
"Ini kejahatan berjamaah. Saya kok gak membayangkan mereka ini, para pedagang, para penggilingan itu, bersepakat, membuat kesepakatan untuk melakukan kejahatan berjamaah ini. Mereka ini jumlahnya gak kecil, ratusan ribu. Jadi menurut saya ada sesuatu yang aneh. Kalau ini dilakukan secara masif seperti ini, berjamaah. Ini tidak kecil karena persentasenya besar," ucapnya.
Khudori menduga ada ketidakseimbangan insentif antara pelaku di hulu dan hilir yang mendorong pelaku di hilir, termasuk penggilingan dan pedagang untuk melakukan pelanggaran.
Pemerintah telah menaikkan Harga pembelian gabah kering panen (GKP) tiga kali sejak 2023 dengan total 47%. Namun, Harga eceran tertinggi (HET) beras hanya naik dua kali dengan persentase jauh lebih kecil.
"Dengan kenaikan harga pembelian pemerintah gabah kering panen di tingkat petani dari 6.000 tahun lalu menjadi 6.500 tahun ini, itu pasti menguntungkan petani, apalagi tidak ada syarat kualitas. Tapi di hilir, karena tidak ada penyesuaian HET, pelaku di hilir itu saya duga mereka terhimpit oleh HET itu," ujarnya.

Jangan Hanya Satgas Pangan yang Bergerak
Ia mengingatkan agar pendekatan keamanan seperti pelibatan Satgas pangan jangan menjadi satu-satunya solusi. Ia menyarankan agar Kementerian Perdagangan, khususnya Direktorat Tertib Niaga dan Perlindungan Konsumen mengambil peran aktif.
Selain itu, Khudori menyoroti bahwa surplus beras saat ini memang ada, tapi tidak sebesar yang dibayangkan. Dari surplus 3,2 juta ton Januari–Juni, 2,6 juta ton telah diserap Bulog, sisanya hanya sekitar 600 ribu ton yang dikuasai penggilingan dan pedagang. Ketimpangan ini dikhawatirkan berdampak pada distribusi.
Ia juga mengkritik lambatnya respons pemerintah dalam melakukan intervensi pasar meski stok Bulog mencapai 4,3 juta ton.
"Dugaan saya akhir tahun nanti stok itu masih sangat-sangat besar. Kalau stok masih sangat besar itu resiko sangat besar. Karena resiko susut volume, resiko turun mutu, resiko bahan rusak, dan yang tidak kalah penting adalah semakin lama beras itu disimpan biaya pengelolaan, biaya penyimpanan itu juga terus bergerak," jelasnya.
Usut Tuntas dan Tuntut Pidana
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho mengatakan bahwa pengusutan kasus dugaan beras oplosan harus dilakukan secara tuntas karena menyangkut kepentingan hidup orang banyak.
“Ini ‘kan justru malah temuan seorang Menteri Pertanian. Saya kira dalam hal ini karena ini menyangkut hidup orang banyak, harus tuntas,” kata Hibnu dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, aspek pidana dalam kasus tersebut telah jelas. Pengoplosan beras dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi bidang pangan maupun tindak pidana pelindungan konsumen.
“Mengoplos itu mencampur kondisi yang tidak sesuai dengan standar mutu. Bisa standar mutu, bisa jumlah. Itu masuk kualifikasi tindak pidananya cukup sekali, sebagai faktor subjektifnya bisa orang, bisa korporasi,” kata Hibnu.

Hibnu menyebut Polri sebagai aparat penegak hukum harus jeli mengungkap kasus ini, apakah akan menjerat perorangan atau entitas perusahaan jika dugaan oplos dimaksud dapat dibuktikan.
“Sejak kapan mulai oplos dilakukan? Dalam kaliber apa beras-beras itu dioplos? Kemudian yang terakhir juga, apakah oplos itu tidak mengganggu manusia? Itu yang harus dilihat,” katanya.
Dia juga menyebut seluruh produsen beras yang diduga nakal itu perlu diperiksa.
“Itu sudah kelihatan semua sehingga semuanya kalau bisa ya diperiksa semua, sebagai bentuk pelajaran bahwa masalah pangan itu masalah yang sangat mendasar bagi kita,” ucapnya.
Lebih lanjut Hibnu menyebut bentuk kecurangan dalam kasus dugaan pengoplosan beras ini pernah ditemukan dalam perkara terdahulu, seperti kasus pupuk hingga korupsi pengelolaan Elektronik Warung Gotong Royong (e-Warong) saat masa pandemi COVID-19.
“Jadi yang saya kira sudah banyak dan ini tantangan bagi penegak hukum untuk menindak secara komprehensif,” pungkasnya.
Baca juga:
- Bansos untuk Judol, Deposit Nyaris 1 Triliun, Rekening Dibekukan