KBR, Jakarta- Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mendapatkan penghargaan dari International Trade Union Confederation Asia Pacific (ITUC-AP) atas dedikasinya melindungi hak buruh.
Dalam kesempatan tersebut, Kapolri mengucapkan terima kasih kepada komunitas buruh internasional. Ia menyatakan bahwa penghargaan ini merupakan kebanggaan bagi institusi Polri sekaligus buah dari kerja sama yang solid dengan berbagai elemen serikat buruh.
Penghargaan itu diberikan langsung oleh Sekjen ITUC-AP, Shoya Yoshida, kepada Kapolri dalam acara yang berlangsung di Indonesia Arena Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta Selatan, 10 Juli 2025.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengatakan penghargaan itu diberikan atas dedikasi Kapolri dalam melindungi hak buruh, salah satunya melalui Desk Ketenagakerjaan Polri.
"Memang, buruh mengakui bahwa Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sangat luar biasa, pendekatannya sangat persuasif, dan yang utamanya Desk Ketenagakerjaan serta penyaluran pekerja terdampak PHK (pemutusan hubungan kerja)," katanya, dikutip dari ANTARA.
FSBPI Kritik Penghargaan kepada Kapolri
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti menyampaikan kritik keras terhadap pemberian penghargaan kepada Kapolri.
Ia menilai penghargaan tersebut tidak sejalan dengan realita di lapangan, terutama menyangkut tindakan represif aparat terhadap aksi-aksi buruh dan masyarakat sipil.
Dian menyinggung kekerasan yang terjadi saat peringatan Hari Buruh (May Day) Mei lalu. Ia menyatakan bahwa aparat membubarkan massa secara paksa menggunakan water cannon dan kekerasan fisik di sekitar kawasan Senayan, meski saat itu belum melewati jam malam.
"Pembenaran dari pihak kepolisian bahwa massa aksi anarkis atau apapun itu, itu tidak bisa membenarkan tindak kekerasan oleh aparat," kata Dian kepada KBR, Sabtu (12/7/2025).
Ia juga menambahkan kebiasaan aparat mengkambinghitamkan kelompok anarko dalam setiap insiden, tanpa bukti yang jelas.
"Apa sih ideologi atau filsafat dari anarkisme yang membawa para pemikir seperti Bakunin dan yang lain-lainnya? Apakah betul-betul ada atau hanya karangan dari pihak kepolisian saja? Kita tentu masih ingat juga bahwa kapolri yang sekarang itu masih melanggengkan metode lama dari pola-pola kekerasan yang dilakukan pihak kepolisian," ujar Pemimpin Umum Marsinah.id.
Dian juga membandingkan dengan negara-negara demokratis seperti Korea Selatan, di mana penggunaan alat kekerasan seperti water cannon oleh kepolisian dilarang, bahkan saat menghadapi aksi protes besar terhadap militerisme.
"Di negaranya dilarang pihak kepolisian itu menggunakan water cannon atau tindak-tindak kekerasan gitu. Tetapi alat-alat seperti water cannon lalu kemudian kita tentu saja ingat Kanjuruhan gitu ya itu justru membawa banyak korban di kalangan masyarakat sipil," ungkapnya.

Kriminalisasi Pembela HAM dan Rakyat Kecil Dianggap Masih Terjadi
Tak hanya buruh, Dian juga menyoroti kriminalisasi terhadap Meila, seorang perempuan pembela hak asasi manusia dari LBH Yogyakarta yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual.
Dian menegaskan bahwa praktik kriminalisasi serupa masih banyak menimpa rakyat kecil, terutama perempuan.
"Tapi pihak kepolisian begitu cepat merespon ketika kemudian rakyat kecil yang menjadi sasarannya gitu artinya hukum itu masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Begitu cepat direspon ketika pelakunya adalah atau terduga pelaku itu adalah rakyat kecil yang sebenarnya hanya mempertahankan haknya," katanya.
Dikutip dari KontraS, Senin, 24 Juni 2024 Polda DIY menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai Tersangka pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE.
Penetapan ini bermula saat Meila melakukan pendampingan kasus Kekerasan Seksual di Yogyakarta. Pendampingan kasus ini dimulai pada April 2020 dan Meila sebagai Pengacara LBH Yogyakarta melakukan pembelaan terhadap 30 korban kekerasan seksual baik langsung maupun secara online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku yakni IM (mantan Mahasiswa berprestasi Universitas Islam Indonesia).
Efektivitas Desk Ketenagakerjaan Dipertanyakan
Dian pun menyinggung soal keberadaan Desk Ketenagakerjaan di institusi kepolisian. Menurutnya, tujuan awal desk tersebut adalah menindak pelanggaran pidana di bidang ketenagakerjaan. Namun dalam praktiknya, banyak kasus berujung pada perdamaian yang tidak memberikan efek jera kepada perusahaan pelanggar.
"Desk pidana bila ujungnya mediasi dari yang kasusnya pidana menjadi perdamaian, buat apa? Akhirnya, tidak ada efek jera bagi perusahaan yang melanggar hak buruh. Desk pidana di kepolisian digagas karena selama ini aparat kepolisian minim pengetahuan terkait hukum Ketenagakerjaan padahal ada kasus pidana dalam hukum Ketenagakerjaan,” jelas Dian.
“Harapannya, ada penegakan hukum bagi pelanggaran pidana di ranah ketenagakerjaan," tambahnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan bahwa Desk Ketenagakerjaan adalah bentuk kepedulian Polri terhadap permasalahan ketenagakerjaan.
Desk ini diharapkan menjadi wadah untuk menyelesaikan sengketa industri antara perusahaan dan tenaga kerja yang sering terjadi.
"Desk Ketenagakerjaan menyelesaikan masalah melalui tahapan-tahapan yang sudah kita siapkan, mulai dari laporan, gelar (perkara), mediasi, kemudian kalau ini tidak dapat dimediasi, maka akan dilanjutkan dengan penegakan hukum sebagai ultimum remedium (langkah terakhir)," ucapnya.

Tindakan Represif Polisi saat Aksi May Day 2025 Jadi Sorotan
Berdasarkan temuan LBH Jakarta, adanya tindakan represif aparat saat aksi Koalisi Masyarakat Sipil mencoba melakukan pemantauan terhadap aksi peringatan hari buruh pada tanggal 1 Mei 2025 di berbagai daerah.
Pertama, Adanya tindak kekerasan terhadap petugas medis. Kekerasan kepada petugas medis ini terjadi di Jakarta Pusat, 1 Mei 2025.
Kedua, Kekerasan fisik, diantaranya adalah: aksi massa yang dipukul pada bagian kepala, dada, dan sekujur tubuh, ditendang, dipiting, diinjak dengan sepatu lars, dilindas dengan kendaraan bermotor.
Ketiga, Penjebakan penangkapan dengan menggunakan ambulans. Tindakan ini terjadi di Semarang, 1 Mei 2025. Hal ini merupakan bentuk penjebakan (penjebakan) yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif menangkap puluhan massa aksi yang ingin mengakses fasilitas kesehatan di dalam ambulans tersebut.
Keempat, pembingkaian buruk terhadap massa aksi. aparat kepolisian melakukan tindakan pembingkaian (framing) kepada massa aksi yang melakukan intimidasi dengan tuduhan sebagai kelompok Anarko.
Kelima, kekerasan seksual terhadap perempuan. Salah satu korban juga memberikan buktinya melalui akun X pribadinya.
Keenam, pengepungan kampus oleh aparat Kepolisian. Ketujuh, penggunaan kekuatan berlebihan.
Kedelapan, proses pemeriksaan massa aksi May Day yang tidak manusiawi. Kesembilan, penutupan akses fasilitas publik.
Baca juga: