KBR, Jakarta- Pemerintah berencana menata ulang pendidikan karakter nasional sebagai bagian dari percepatan pembangunan manusia menuju generasi emas 2045.
Evaluasi ini dilakukan atas implementasi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang dianggap belum mencakup seluruh aspek ekosistem pendidikan anak.
Dalam siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), penataan ulang pendidikan karakter akan merujuk pada profil pelajar Pancasila, dengan fokus pada penguatan nilai kebinekaan, inklusivitas, moderasi beragama, hingga nasionalisme. Namun, rincian konkret terkait skema baru ini masih belum dipublikasikan secara gamblang.
Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi SDM Pendidikan dan Keagamaan Kementerian Agama, Mastuki mengatakan pendidikan karakter tidak bisa dianggap selesai dalam satu fase pemerintahan atau program jangka pendek.
“Character building ini terus menerus. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita ini, karakter building itu selalu diperlukan. Apalagi saat ini di mana perubahan-perubahan besar berkaitan dengan misalnya krisis identitas, disrupsi digital di kalangan anak-anak muda,” ujar Mastuki dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (11/7/2025).
Ruang Lingkup Pelaksanaan Pepres Sempit
Ia menyoroti bahwa lingkup pelaksanaan Perpres 87/2017 terlalu sempit karena hanya melibatkan tiga kementerian. Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan.
Menurutnya, ekosistem yang menyelenggarakan pendidikan karakter perlu diperluas untuk melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan seperti KPAI, BKKBN, dan ormas keagamaan.
“Kami melihat bahwa penting untuk memperluas ekosistem penyelenggaraan penguatan pendidikan karakter ini. Tidak hanya dibatasi pada kementerian-lembaga, tetapi juga masyarakat sipil seperti ormas keagamaan yang memiliki concern,” tambahnya.

Konsep Penguatan Karakter Bisa Mencontoh Pesantren hingga Madrasah
Mastuki menegaskan bahwa Kementerian Agama sudah menginisiasi berbagai langkah melalui lembaga pendidikan keagamaan seperti madrasah dan pesantren.
Ia menilai pesantren sebagai ekosistem pendidikan karakter yang kuat karena memiliki pengawasan 24 jam oleh kiai dan ustaz.
“Di pesantren, program pendidikannya terintegrasi. Religiusitas menjadi fondasi nilai karakter. Tapi tentu tidak semua masalah selesai hanya dengan pesantren,” jelas Mastuki.
Selain itu, program Moderasi Beragama yang dikembangkan oleh Kemenag menanamkan empat pilar utama: wawasan kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan ramah terhadap budaya.
“Kami juga melibatkan mitra strategis dari berbagai agama seperti MUI, PGI, KWI, BHDI, yang bersama-sama menyelenggarakan pelatihan dan penguatan karakter di lembaga masing-masing,” ujarnya.
Tantangan pendidikan karakter di Indonesia saat ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral semata. Harus ada keterlibatan lintas sektor dan lintas level pemerintahan, dari pusat hingga daerah, serta masyarakat luas.
“Bukan tripusat pendidikan lagi. Sekarang bahkan media dan politik juga harus ikut bertanggung jawab membentuk karakter anak,” ujar Mastuki.

KPAI: Penguatan Karakter Mesti Ikuti Perubahan Zaman
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono mengatakan penguatan karakter harus direformulasi agar bisa menyesuaikan dengan tantangan zaman.
“Salah satu rekomendasi KPAI adalah reformulasi terkait penguatan pendidikan karakter. Itu akan berimplikasi pada self-control anak agar bisa menyaring tantangan digital maupun sosial,” ujar Aris dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (11/7/2025).
Menurut Aris, penguatan pendidikan karakter tidak boleh hanya jadi tugas kementerian pusat, tetapi juga harus melibatkan pemerintah daerah, sekolah, masyarakat, dan keluarga secara terpadu.
“Koordinasi lintas sektor itu harapannya agar anak-anak semakin terjaga tumbuh kembangnya, semakin kuat karakter baiknya, dan tidak mudah masuk ke pergaulan negatif,” lanjutnya.
Reformasi Kurikulum juga Diperlukan
Aris juga menekankan perlunya reformasi kurikulum pendidikan agar mampu menjawab tantangan cepat dari dunia digital dan perubahan pola asuh di keluarga.
Ia juga menegaskan pentingnya literasi digital dan penguatan ekosistem.
“Peran keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat harus diperkuat agar anak-anak tumbuh dengan karakter kuat. Karena di punggung merekalah nasib bangsa ini,” jelasnya.

Pakar: Pendidikan Karakter Tanggung Jawab Multipihak
Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Inggris di Unika Widya Mandala Surabaya, Anitha Lee mendukung perluasan tanggung jawab pendidikan karakter anak.
“Saya mendukung konsep bahwa pendidikan karakter seorang anak itu bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tetapi seluruh ekosistem. It takes a village to raise a kid. Dulu anak-anak dibesarkan oleh seluruh kampung. Sekarang, itu makin langka,” kata Anitha dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (11/7/2025).
Menurutnya, urbanisasi dan perubahan gaya hidup membuat interaksi sosial menyempit. Sekolah kemudian menjadi beban utama dalam pembentukan karakter anak, namun tidak selalu dibekali dengan sumber daya dan dukungan sosial yang memadai.
“Guru menghadapi tantangan yang sangat besar. Dulu, kalau guru mendisiplinkan anak, orang tua mendukung. Sekarang, orang tuanya bisa melabrak guru,” ujar Anitha.
Ia juga mengkhawatirkan menurunnya minat menjadi guru karena tanggung jawab yang besar, gaji yang rendah, dan risiko sosial yang tinggi, seperti kasus kekerasan di sekolah yang melibatkan guru sebagai korban atau pelaku.
Kontrol Teknologi dan Media Sosial pada Anak
Anitha juga menyoroti penetrasi teknologi dan media sosial yang tidak terkontrol pada anak-anak usia dini.
“Negara maju sudah melarang media sosial untuk anak usia dini. Tapi kita malah latah. Padahal, untuk anak usia pra-SD tidak perlu gawai atau internet. Mereka harus belajar hands-on, bukan digital,” katanya.
Ia juga menyoroti fenomena pernikahan anak dan absennya pendidikan parenting yang sistematis di masyarakat.
“Pernikahan anak itu masih banyak. Belum ada kelas calon orang tua yang serius. Anak-anak menikah tapi belum siap jadi orang tua,” tegasnya.

Tata Ulang Arah Kebijakan Pendidikan Karakter Nasional
Pemerintah tengah memperkuat sinergi lintas kementerian dan lembaga untuk menata ulang arah kebijakan pendidikan karakter nasional. Hal ini menjadi fokus utama dalam Rapat Koordinasi Teknis Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan dan Program Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa yang digelar Kemenko PMK di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Mengutip dari kemenkopmk.go.id, Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa Kemenko PMK, Warsito, menegaskan bahwa pembangunan karakter tidak bisa lagi berjalan sektoral maupun parsial. Dalam menghadapi disrupsi teknologi, perubahan sosial, hingga budaya digital yang cepat, pendekatan kolektif menjadi kunci.
“Pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah. Ini adalah tanggung jawab kolektif lintas sektor, lintas institusi, dan seluruh ekosistem bangsa termasuk keluarga, media, dunia usaha, dan masyarakat sipil,” tegas Warsito.
Rapat ini sekaligus menjadi langkah evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).
Pemerintah juga membahas berbagai dinamika lapangan dan kemungkinan perlunya reformulasi arah kebijakan karakter ke depan, termasuk revisi regulasi serta penguatan koordinasi operasional antar lembaga.
Program Karakter Dukung Pilar Pembangunan Nasional dalam Asta Cita
Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikdasmen, Rusprita Putri Utami, menjelaskan bahwa pendekatan karakter di satuan pendidikan kini mengacu pada delapan profil pelajar Pancasila yang terintegrasi dalam rapor pendidikan.
Selain indeks karakter, penguatan iklim kebhinekaan, inklusivitas, serta indeks keamanan satuan pendidikan menjadi indikator penting. Program karakter juga diarahkan untuk mendukung pilar-pilar pembangunan nasional dalam Asta Cita, khususnya PN 1, 4, 7, dan 8.
Sementara itu, Direktur Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan Kementerian Dalam Negeri, Sri Handoko Taruna, mengingatkan bahwa tantangan ekstremisme juga menyasar ASN, guru, dan mahasiswa.
Ia menyebut bahwa hampir seluruh kabupaten/kota telah membentuk Peraturan Perundang-undangan Wawasan Kebangsaan (PPWK).
“Kita perlu adaptasi regulasi agar tetap relevan dengan dinamika generasi saat ini,” ujarnya.

Kembalikan Nilai Nasionalisme pada Anak
Staf Ahli Menteri Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, menambahkan bahwa penting bagi seluruh pihak untuk mengonsolidasikan upaya penguatan karakter, khususnya dalam mengembalikan nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak yang terpapar budaya asing.
Ia menekankan perlunya konvergensi program secara terkoordinasi di bawah Kemenko PMK.
“Kami berharap peran koordinatif Kemenko PMK bisa terus diperkuat dalam menyatukan langkah antar sektor,” ujarnya.
Warsito menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar evaluasi, tapi momentum untuk memperkuat komitmen lintas sektor dalam menata ulang strategi karakter bangsa ke depan, termasuk dalam perspektif regulasinya.
Perluasan cakupan regulasinya tidak hanya menyasar di bidang pendidikan, namun semua aspek, termasuk penguatan karakter bagi aparatur pemerintah.
“Tujuan akhirnya adalah memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi dinamika global, sehingga kita memerlukan dukungan keterpaduan program antar stakeholders dan masyarakat luas” tutup Warsito.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Polemik Rencana Program Siswa Ditarik ke Barak TNI, Apa Dampaknya?