KBR, Jakarta - Langkah Kejaksaan Agung menetapkan pengusaha Riza Chalid sebagai tersangka korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina 2018-2023, dinilai bisa menjadi kunci membongkar praktik mafia migas di negeri ini. Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi menyebut Riza Chalid sebagai gembong mafia migas yang selama ini tak tersentuh hukum.
"Karena tertangkapnya Riza Chalid ini akan membuka semua penyimpangan-penyimpangan yang ada di migas. Terutama yang terkait dengan Pertamina tadi. Siapa orang Pertamina yang sudah ketangkap atau yang sekarang masih menjabat, ini juga belum tahu, karena mereka pasti melibatkan Pertamina," kata Fahmy kepada KBR, Jumat (11/7/2025).
Fahmy mengatakan Riza Chalid bisa menjadi kunci untuk membuka semua penyimpangan tata kelola migas. Kejaksaan Agung harus bisa mengurai simpul-simpul korupsi migas yang telah terjadi selama puluhan tahun.
Menurut Fahmy, pembersihan mafia migas tak akan berhasil tanpa reformasi menyeluruh di tubuh Pertamina.
Ia menekankan tiga hal yang harus dilakukan, yakni perbaikan tata kelola, pemilihan pimpinan Pertamina yang berintegritas, dan sistem pengawasan yang harus diperkuat untuk mencegah modus-modus mafia migas.
Fahmy mendesak Kejaksaan Agung segera memburu dan menangkap Riza. Sebab, saat penetapan tersangka, Riza diduga beradi di Singapura.
"Kalau Prabowo memang punya komitmen untuk memberatas korupsi khususnya di bidang migas, yang merugikan negara, maka jangan tanggung-tanggung. Harus seluruhnya disikat sampai ke akar-akarnya, sampai yang paling tinggi sekalipun. Tanpa itu, mafia migas akan tetap berkeliaran. Khususnya di Pertamina," kata dia.
Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka bersama delapan orang lainnya. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan para tersangka menyelewengkan perencanaan dan pengadaan ekspor minyak mentah.
Penyimpangan itu juga dilakukan dalam proses impor minyak mentah.

Para tersangka dijerat Pasal 2 Ayat 1 dan/atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
"Bahwa masing-masing tersangka tersebut telah melakukan berbagai penyimpangan yang merupakan perbuatan melawan hukum dan tata kelola minyak yang mengakibatkan kerugian negara maupun kerugian perekonomian negara," ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (10/7/2025) malam.
Para tersangka juga melakukan penyimpangan dalam pengadaan sewa Terminal BBM di PT Orbit Terminal Merak. Perusahaan itu milik Riza Chalid.
Riza disebut mengintervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina dengan memasukkan rencana kerja sama terminal BBM Merak. Padahal, saat itu perusahaan belum memerlukan tambahan kapasitas penyimpanan.
Riza juga disebut menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama.
"Perjanjian OTM antara Pertamina Patra Niaga dengan PT OTM itu berlaku selama 10 tahun. Di mana dalam waktu 10 tahun itu seharusnya OTM itu menjadi milik PT Pertamina Patra Niaga. Tapi klausul itu di dalam kontrak dihilangkan," ungkap Qohar.
Dia juga memainkan penetapan harga kontrak yang sangat tinggi dalam kerja sama penyewaan terminal BBM Tangki Merak.
"Kerugian berdasarkan hasil penghitungan BPK sebanyak Rp2,9 triliun khusus untuk OTM dengan hitungan total loss," kata Qohar.
Sebelumnya pada Februari-Maret 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menetapkan sembilan tersangka, salah satunya anak Riza Chalid yakni Kerry Andrianto Riza. Sehingga total tersangka dalam kasus ini 18 orang. Kasus ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp285 triliun.
Baca juga: Benarkah Ada Intervensi dalam Pengusutan Dugaan Korupsi Pertamina?
Peran Riza Chalid di Pusaran Migas
Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka dinilai sebagai langkah yang berani. Sebab, dia diduga beberapa kali lolos dari jerat hukum.
"Ini surprise. Kejaksaan Agung berani menersangkakan Muhammad Riza Chalid. Ini roboh sudah mitos bahwa Riza Chalid tidak tersentuh oleh hukum selama melakukan tindakan merugikan negara di bidang migas. Barangkali sudah sekitar 30 tahun dan selalu lolos tadi," kata Fahmy.

Fahmi merupakan salah satu anggota Tim Reformasi Migas 2014-2015. Saat itu, tim sudah mengendus jejak Riza Chalid di pusaran skandal mafia migas.
Riza ditengarai sudah memainkan peran sentral sebagai pengendali skema-skema koruptif di tubuh Pertamina sejak era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Melalui anak perusahaan Pertamina, Petral, Riza diyakini memanfaatkan celah dalam proses impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), serta memanipulasi proses bidding hingga blending, untuk mengeruk keuntungan pribadi.
"Nah, bagaimana modus yang dilakukan oleh Riza Chalid? Itu yang pertama, dia memanipulasi bidding, lelang. Kan untuk menentukan siapa yang mengimpor itu kan harus bidding. Nah, kemudian blending. Nah, di bidding itu Petral membocorkan informasinya berapa harganya pada Riza Chalid, nah kemudian Riza Chalid dengan mudah mencari frontier untuk memaju dalam bidding tadi itu ya," imbuhnya.
Diduga Punya Backing Kuat
Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo di 2015, Petral dibubarkan atas rekomendasi Tim Anti-Mafia Migas. Namun, Riza Chalid masih melenggang.
"Tanpa ada endorse dari Jokowi, tidak mungkin Petral bisa dibubarkan. Dan Jokowi itu punya komitmen yang kuat. Nah, tetapi pada saat hasil audit forensik yang dilakukan perusahaan di Australia, itu sudah selesai, kemudian menterinya waktu itu, Sudirman Said, mau membawa hasil audit tadi ke KPK, sama Jokowi dicegah. Artinya Jokowi sudah mulai masuk angin juga. Sehingga tidak bisa mengusut mafia migas tadi, dan tidak ada satu pun yang ditersangkakan," ungkap Fahmy.
Nama Riza juga mencuat di skandal "papa minta saham" pada 2015. Ia diduga bertemu Ketua DPR Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin terkait perpanjangan kontrak Freeport. Di kasus itu, Riza kembali lolos.
Baca juga: Papa Minta Saham, Kejagung Periksa Setnov
Fahmy menduga backing Riza Chalid begitu kuat. Menurutnya, perubahan sikap Jokowi dari semangat membongkar mafia migas menjadi pasif dan bahkan protektif, menjadi salah satu petunjuk adanya intervensi dari pihak-pihak yang posisinya kuat.
"Ya, dia yang backing ini bisa institusi, baik itu eksekutif, legislatif gitu ya. Dan membuat aturan-aturan yang dibutuhkan untuk melancarkan tugas mereka, dia butuh juga legislatif. Kemudian juga eksekutif, aparat juga sebagai backing. Kalau dikatakan oleh Dahlan Iskan itu langit tujuh, itu saya kira ya, apakah pucuk pimpinan negara gitu ya. Bisa juga gitu ya, saya enggak menuduh itu apakah RI 1, sehingga uangnya mengalir sejak zaman SBY ke Jokowi," kata dia.
Fahmy menekankan, pemimpin negara punya peran besar dalam mengungkap mafia migas di Indonesia yang sudah berjalan selama puluhan tahun.
"Nah, kalau baru sekarang Riza Chalid itu bisa ditersangkakan setelah dia mulai 30 tahun, mungkin lebih ya, SBY 20 tahun, Jokowi 20 tahun, mungkin sekitar 40 tahun gitu ya, lolos melenggang sekarang itu ditersangkakan, maka tadi analisis saya keterkaitan antara RI 1 dengan Riza Chalid, maka saya menduga saat ini RI 1 Prabowo itu endorse untuk menersangkakan Riza Chalid tadi," kata Fahmy.

Jangan Sampai Kabur
Riza Chalid sudah tiga kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Kejaksaan Agung telah memasukkan namanya dalam daftar cekal ke luar negeri.
Pencegahan dilakukan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia tertanggal 10 Juli 2025 terkait penanganan perkara pidana.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) dan pemerintah bersama-sama segera mengusut tuntas kasus korupsi tata kelola minyak ini. Menurutnya, penetapan Riza Chalid sebagai tersangka tidak cukup.
"Ini langkah yang sangat bagus dan berani. Kasus korupsi tata kelola minyak ini harus diusut sampai tuntas hingga ke akar-akarnya. Utamanya terkait backing," ujar Zaenur melalui keterangan tertulis, Sabtu (12/7/2025).
Zaenur mendorong pemerintah segera mengajukan permohonan ekstradisi kepada otoritas Singapura. Dia khawatir akan ada hambatan dan tantangan yang besar dalam proses hukum tersangka Riza Chalid ini.
"Harus dilakukan secara cepat agar tidak kabur," katanya.
Apa Sikap Pertamina ?
PT Pertamina (Persero) menghormati dan menyerahkan seluruh proses hukum kepada aparat berwenang dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
Juru Bicara Pertamina Fadjar Djoko Santoso berjanji perusahaannya akan kooperatif, termasuk dalam hal penyajian data atau keterangan-keterangan tambahan.
"Pertamina selalu menghormati Kejaksaan Agung dan aparat penegak hukum yang menjalankan tugas, serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan. Pertamina juga siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar," katanya kepada KBR, Sabtu (12/7/2025).
Baca juga:
- Dirut Pertamina Minta Maaf ke Masyarakat: Ini Ujian Besar
- Pengawasan Gagal di Kasus Korupsi Pertamina, Erick Thohir Didesak Mundur
Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak bukanlah yang pertama terjadi. Ada sejumlah kasus yang menambah daftar panjang korupsi di perusahaan pelat merah tersebut.
Pertama, korupsi pengadaan liquified natural gas (LNG) di Pertamina pada periode 2011-2014 yang menyeret nama bekas Direktur Utama Pertamina (2009-2014) Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan. Karen terbukti merugikan negara sebesar USD113.839.186.60 atau sekitar Rp1,83 triliun.
Dalam kasus ini, Karen divonis 13 tahun penjara dan denda Rp650 juta subsider 6 bulan kurungan.
Kedua, kasus korupsi dana pensiun. Pada 2017, Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina periode 2013-2015 Muhammad Helmi Kamal Lubis ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengelolaan dana pensiun Pertamina oleh Kejagung.
Helmi yang merupakan Presiden Direktur Dana Pensiun Pertamina dihukum 8 tahun penjara. BPK menyebut kerugian negara dalam kasus ini Rp599 miliar.
Ketiga, Kasus pembayaran jasa transportasi dan handling BBM fiktif oleh PT Pertamina Patra Niaga kepada PT Ratu Energy Indonesia (PT REI) tahun 2010-2014. Kasus ini telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp50-73,4 miliar. Kejaksaan Agung telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini.