KBR, Jakarta- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menerapkan cukai untuk pangan olahan yang mengandung garam tinggi atau Produk Pangan Olahan Bernatrium (P2OB) dan Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK).
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jakarta mengingatkan pemerintah agar tidak tergesa-gesa menerapkan kebijakan cukai untuk produk makanan olahan bernatrium tinggi hingga minuman berpemanis.
Ketua Umum KADIN Jakarta, Diana Dewi mengatakan penerapan kebijakan ini perlu dikaji secara menyeluruh, baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap sektor usaha.
Ia menilai, langkah yang terburu-buru justru bisa mengganggu roda perekonomian, terutama industri pangan dan minuman.
"Jangan sampai tanpa kajian bisa mengganggu perekonomian dan keberlangsungan usaha, terutama bagi industri yang produknya mengandung pemanis," ujarnya kepada KBR, Rabu (16/7/2025).
Diana menjelaskan kebijakan ini adalah yang pertama kali dilakukan di Indonesia, sehingga pelaku industri butuh waktu melakukan penyesuaian.
Pemerintah perlu melibatkan pelaku usaha dalam diskusi dan menyosialisasikan rencana tersebut, serta memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak muncul salah paham.
KADIN Jakarta belum Pernah Diajak Pembahasan
Diana juga mengatakan KADIN Jakarta sejauh ini belum pernah dilibatkan dalam pembahasan resmi dengan pemerintah terkait kebijakan cukai tersebut. Namun, pihaknya telah mendiskusikan isu itu secara internal sebagai bentuk antisipasi.
"Bagi kami, penerapan cukai tidak hanya dilihat dari upaya memperkuat kas negara, tapi juga harus dipandang sebagai beban bagi pengusaha ditengah kondisi ekonomi yang masih berfluktuasi ini," katanya.
Diana mengakui, tujuan pemerintah untuk mendorong reformulasi produk agar lebih sehat patut diapresiasi. Namun dari sisi pelaku usaha, kebijakan tersebut harus ditelaah mendalam, termasuk dampak bagi perusahaan.
"Jangan sampai nanti akan kontraproduktif, sehingga tujuannya tidak tercapai. Karena bila diterapkan pun, pemerintah harus memberikan waktu bagi pelaku industri agar dapat menyesuaikan formulasi produk-produknya sesuai dengan aturan yang berlaku," jelasnya.

Kemenkeu Ungkap Rencana Penerapan Cukai Makanan Asin dan Minuman Berpemanis
Kementerian Keuangan berencana menerapkan cukai terhadap Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK).
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Djaka Budhi Utama mengatakan skema penerapan cukai MBDK sedang dipersiapkan.
“Lagi diatur sama Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal,” ujar Djaka kepada awak media usai rapat bersama Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, (14/7/2025).
Selain MBDK, Djaka juga mengatakan Kementerian Keuangan tengah menyiapkan rencana pemberlakuan cukai untuk Produk Pangan Olahan Bernatrium (P2OB).
Dalam paparan Kementerian Keuangan saat rapat bersama Komisi XI, penerapan cukai P2OB menjadi salah satu kebijakan administratif yang masuk program pengelolaan penerimaan negara pada 2026.

Usul Cukai Masuk RAPBN 2026
Pemerintah telah kembali mengusulkan pengenaan cukai MBDK dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Target penerimaan dari kebijakan ini dipatok sebesar Rp 6 triliun.
Rencana ini mengemuka dalam rapat kerja Kementerian Keuangan dengan Komisi XI DPR, Senin (14/7/2025).
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut penambahan objek cukai menjadi bagian dari pengelolaan penerimaan negara.
“Output perumusan kebijakan di sisi administrasi, salah satunya rekomendasi ekspansi barang kena cukai,” ujarnya di kompleks parlemen.
Anggito mengatakan pemerintah juga akan menggali potensi perpajakan dari data analisis, media sosial, serta memperkuat regulasi perpajakan dan PNBP. Hal ini, kata dia, untuk meningkatkan penerimaan negara dan rekomendasi proses bisnis dalam kegiatan ekspor dan impor logistik.
Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memberlakukan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025, meskipun sebelumnya telah ditargetkan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 3,8 triliun dalam APBN.
Urgensi Pengenaan Cukai Pada MBDK
Berdasarkan publikasi dari website kemenkeu, semenjak tahun 2024, Pemerintah melaksanakan kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang dinilai akan efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat terhadap gula, serta menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih.
Penerapan kebijakan ini sebelumnya mengalami penundaan dikarenakan pertimbangan banyak faktor seperti pemulihan ekonomi nasional, kondisi kesehatan masyarakat, dan situasi ekonomi global.
Sesuai dengan Undang-Undang nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Pada hal ini, beberapa karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai adalah barang yang;
1. konsumsinya perlu dikendalikan,
2. peredarannya perlu diawasi,
3. pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup,
4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Menimbang dari aturan di atas, serta melalui pembahasan secara komprehensif selama beberapa tahun, Pemerintah memutuskan minuman berpemanis memiliki karakteristik sebagai barang cukai.
Konsumsi minuman berpemanis secara berlebih dinilai memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Tidak hanya itu, hal ini juga memiliki efek domino terhadap kondisi keuangan negara.

Mengurangi Konsumsi Gula
Menurut data penelitian Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, konsumsi gula masyarakat dalam jangka waktu 10 tahun (1992-2020) meningkat sebesar 40%, lebih tinggi 31% dari peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9%.
Selain itu, terdapat peningkatan konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis. Dilihat dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun (1996-2014), konsumsi masyarakat pada minuman berpemanis meningkat secara signifikan.
Data menyebutkan konsumsi minuman berpemanis pada 1996 yaitu 24 juta liter, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 405 juta liter. Hal ini menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan konsumsi minuman berpemanis berjalan positif dengan peningkatan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, obesitas, dan penyakit kardiovaskular.
RI Peringkat 5 Negara dengan Penderita Diabetes Terbanyak
Dilansir dari International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2021 Indonesia menempati posisi ke-5 negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di Dunia. IDF mencatat terdapat 19,5 juta penduduk Indonesia pada rentang usia 20-79 tahun yang menderita diabetes.
Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2045 yang bisa mencapai 28,5 juta penderita. Diabetes juga ditetapkan menjadi salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia pada tahun 2019.
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan diabetes melitus merupakan penyakit paling mematikan ke-3 di Indonesia setelah stroke dan jantung iskemik. Pada setiap 100 ribu populasi, terdapat 40.78 kasus kematian akibat penyakit diabetes.
Obesitas juga menjadi penyakit yang dapat disebabkan karena konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Saat ini, obesitas menjadi salah satu krisis kesehatan yang sedang berkembang di Indonesia. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara. Data Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa tingkat obesitas di Indonesia naik secara signifikan.

Pada tahun 2019, angka obesitas di Indonesia sebesar 14% dari populasi. Lalu pada tahun 2023, tercatat 25% dari penduduk Indonesia tergolong kelebihan berat badan. Meskipun obesitas bukan merupakan penyakit yang mematikan, namun obesitas dapat meningkatkan risiko lebih tinggi untuk terjangkit penyakit lain seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.
Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang menyerang organ jantung dan pembuluh darah. Gejala umum dari penyakit ini adalah adanya serangan jantung dan stroke. Terdapat lima besar faktor yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan mengenai penyebab utama penyakit kardiovaskular yaitu tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, rokok, dan obesitas.
Hingga tahun 2019, WHO mencatat bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyakit paling mematikan di Indonesia. Stroke menempati urutan pertama penyakit dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia, diikuti dengan penyakit jantung iskemik di urutan kedua. Pada setiap 100.000 populasi masyarakat, terdapat 131.8 kasus kematian akibat stroke, dan 95.68 kematian akibat jantung iskemik.
Tingginya kasus penyakit kardiovaskular beriringan positif dengan kenaikan beban pengeluaran negara untuk menangani penyakit tersebut. Pada tahun 2022, BPJS Kesehatan membukukan penyakit jantung menjadi penyakit dengan biaya penanganan tertinggi yaitu Rp12,14 triliun dengan 15,5 juta kasus.
Diikuti dengan penyakit stroke di urutan ketiga yang menelan biaya hingga Rp3,24 triliun dengan 2,54 juta kasus. Penerima manfaat BPJS Kesehatan tersebut didominasi oleh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai melalui APBN dan setiap tahunnya mengalami lonjakan.

Dengan melihat dampak konsumsi minuman berpemanis terhadap kontribusi peningkatan tingkat kematian akibat PTM, peningkatan PTM dan beban keuangan untuk penanganan penyakit, cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan harus segera dilaksanakan.
Cukai MBDK merupakan kebijakan yang dinilai (cost-effective) atau hemat biaya. Kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap MBDK di beberapa negara seperti Meksiko, Perancis, dan Finlandia. Pelaksanaan kebijakan ini akan lebih efektif jika diikuti dengan strategi promosi kesehatan oleh Pemerintah, seperti sosialisasi bahaya konsumsi gula berlebih, edukasi hidup sehat, atau pemberian label nutrisi pada produk pangan.
Indonesia Kelebihan Konsumsi Natrium
Saat ini, Indonesia masih mengalami kekurangan gizi dan di sisi lain juga mengalami kelebihan asupan natrium yang juga berkontribusi secara langsung terhadap peningkatan prevalensi penyakit tidak menular utamanya yang menyerang jantung dan pembuluh darah.
Berdasarkan data Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014, rerata asupan natrium penduduk Indonesia sebesar 2.764 mg/orang/hari. Sekitar 53,5% dari seluruh penduduk di Indonesia mengonsumsi natrium melebihi batas yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan dan World Health Organization (WHO) sebesar 2.000 mg/orang/hari.
Berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 34 Tahun 2019, Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Pangan Olahan untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, harus memenuhi persyaratan kategori pangan.
Pasar permintaan dari berbagai pangan bernatrium mengalami kenaikan dalam beberapa tahun belakangan, contohnya adalah produk mi instan. Indonesia saat ini menjadi negara peringkat kedua dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia pada tahun 2022 setelah China.

Berdasarkan data dari World Instant Noodles Association (WINA), masyarakat Indonesia telah menghabiskan 14,26 miliar bungkus mi instan pada tahun 2021. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 273 juta jiwa pada tahun 2021, maka rata-rata konsumsi mi instan per tahun di Indonesia mencapai 48-50 bungkus per orang.
Angka rata-rata ini masih memperhitungkan seluruh jumlah penduduk (termasuk bayi yang masih menyusui). Apabila perhitungan rata-rata ini ditelaah lebih lanjut dengan mengeluarkan jumlah penduduk kategori bayi yang masih menyusui tentunya rata-rata konsumsi mi instan per tahun di Indonesia akan semakin meningkat melebihi 50 bungkus per tahun per orang.
Pada tahun 2022 terakhir, angka ini melonjak menjadi 14,3 milyar bungkus yang apabila dibandingkan dengan angka pada tahun 2021 terjadi kenaikan sebesar 7-8% per tahunnya.
Baca juga:
- Ramai Anak Terapi Cuci Darah. Apa Kabar Cukai Minuman Berpemanis?
- Diabetes pada Anak Meningkat, Cukai Minuman Berpemanis Makin Mendesak