KBR, Jakarta- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) mempertanyakan tanggung jawab pemerintah dalam penyediaan crisis center
yang telah dijanjikan bagi korban vaksin palsu. Pasalnya, kata Direktur
Direktur YLBHI Alvon Kurnia Palma, pihaknya hingga kini belum melihat penyediaan
crisis center di beberapa rumah sakit yang terindikasi menggunakan vaksin
palsu. Ketiadaan crisis center ini menurut Alvon membuat keluarga korban berada
dalam ketidak pastian informasi.
"Sebenarnya kan ini sudah janji dari satgas dan terakhir kita bertemu Dirjen
Kefarmasian Kemenkes akan ada crisis center dan juga ditekankan Irjen Pol Boy
Rafli bahwa akan ada crisis center-crisis center tapi memang faktanya tidak
ada," papar Alvon kepada KBR (25/7/2016)
Alvon menjelaskan keberadaan crisis center penting untuk mengklarifikasi
permasalahan yang ada, dan memeriksa kembali orang-orang yang pernah berurusan
dengan rumah sakit tersebut.
“Sehingga, mereka yang diduga terpapar vaksin palsu sejak dari tahun 2003, dapat diambil sampelnya untuk diteliti apakah memang terpapar dengan vaksin palsu atau tidak.”
Baru setelah itu, lanjut Alvon, tindakan medis dapat
dilakukan oleh pihak RS setelah mendapat rekomendasi dari lembaga yang qualified
bahwa yang bersangkutan perlu divaksin ulang atau tidak. Dengan demikian, Alvon
menyebut jaminan bagi keluarga pasien pun terpenuhi.
"Yang paling utama beri informasi dan jaminan keamanan keluarga pasien
yang selama ini terombang-ambing tanpa adanya kepastian informasi,"
ujarnya.
Alvon kembali menegaskan penyediaan crisis center ini menjadi tanggung jawab
negara, dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang telah diserahkan kepada
Satgas. Jadi menurut dia, pemerintahlah yang seharusnya membangun crisis centre,
bukan keluarga pasien ataupun pihak Rumah Sakit. Hal itu agar pengawasan tetap berjalan.
Penyediaan Crisis center akan menjadi salah satu bahasan
dalam pertemuan YLBHI dengan keluarga pasien hari Selasa (26/7/2016), besok.
"Ke permintaan perbaikan kebijakan, di sektor kebijakan ke depannya, permasalahan
kesehatan di Indonesia ini kan jadi barang yang sangat mahal. Oleh karena itu
negara harus bertanggung jawab dalam sektor kesehatan, apalagi persoalan ibu
dan anak menjadi concern utama dari Kementerian Kesehatan dan negara,"
pungkasnya.
Keluarga Korban RS Sayang Bunda Buka Posko Aduan
Koordinator Korban Vaksin Palsu RS Sayang Bunda Pondok Ungu, Bekasi, Roni mengaku selama ini pihak keluarga korban vaksin palsu hanya mengandalkan posko pengaduan vaksin palsu yang dibangun di salah satu rumah orang tua korban. Posko yang didirikan warga tersebut mencatat dan menampung semua informasi dari rumah sakit maupun keluarga.
Kata Roni, posko itu didirikan karena pihak Rumah Sakit tidak kunjung membuka posko aduan sesuai janjinya. Sementara, kata dia, keluarga korban terus menuntut penyerahan rekam medik anak mereka.
"Harapan kami tadinya, RS yang melakukan itu
(mendirikan posko-red). Namun sepertinya komunikasi dari RS tidak ada
inisiatif. Sehingga kami dari ortu korban akhirnya inisiatif membuka posko
sendiri,"kata Roni kepada KBR, Senin (25/7/2016)
Roni mengatakan saat ini, pihak keluarga
korban masih melakukan konsolidasi bersama keluarga korban lainnya. Upaya hukum
juga terus dibicarakan bersama kuasa hukum korban. "Untuk sementara kita
akan konsolidasi dulu dengan teman-teman dulu, "ujarnya.
Menurut Roni saat ada ada 200an lebih aduan yang masuk ke poskonya. Saat vaksinasi ulang,
ada 21 keluarga yang dihubungi Kemenkes. Namun, sebagaian besar menolak
melakukan vaksin ulang. Sejauh ini, kata Roni, warga sebatas mencari
informasi lanjutan soal vaksin palsu.
"Ada 230an data yang masuk. Yang ditelepon Kemenkes ada 21 orang. Tapi
hanya beberapa vaksin ulang, dan hanya datang untuk memastikan vaksin ulang,
tujuannya apa. Mereka memilih pending saja. Yang divaksin tidak lebih dari 10
orang yang di vaksin,"tambah Roni. (mlk)