KBR, Jakarta- Fenomena wakil menteri di Kabinet Merah Putih yang merangkap jabatan sebagai komisaris atau pimpinan di perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai beragam kritik.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai praktik menteri dan wakil menteri rangkap jabatan sebagai hal yang tidak etis dan rawan konflik kepentingan.
Menurutnya fenomena seperti ini semakin menguatkan bahwa konflik kepentingan pada era pemerintahan Prabowo-Gibran dibiarkan tumbuh. Hal ini kata dia sangat berbahaya dan bisa mencederai integritas institusi itu sendiri.
"Rangkap jabatan ini bukan sekadar soal gaji tambahan atau prestise simbolik. Ini adalah persoalan mendasar tata kelola negara. Seorang wakil menteri atau pejabat kementerian memiliki kewenangan regulatif dan administratif. Ketika orang yang sama duduk sebagai komisaris, maka ia menjadi bagian dari struktur yang seharusnya ia awasi," ujar Achmad kepada KBR, Rabu (4/6/2025).
"Tidak ada mekanisme check and balance yang sehat ketika pengawas juga merangkap sebagai pelaksana," lanjutnya.
Memudarnya Semangat Reformasi Birokrasi
Achmad juga menyebut praktik rangkap jabatan membuat semangat reformasi birokrasi memudar. Padahal menurutnya pemisahan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif penting untuk menjaga agar tidak ada satu aktor yang memiliki kuasa absolut.
"Rangkap jabatan pejabat negara dengan komisaris BUMN adalah anomali terhadap prinsip ini. Negara bukan korporasi pribadi. BUMN bukan kendaraan politik. Pejabat publik adalah pelayan, bukan pemilik. Jika prinsip ini kita sepakati bersama, maka rangkap jabatan harus dihentikan. Tidak ada argumen efisiensi atau sinergi yang cukup kuat untuk membenarkan praktik yang membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan," katanya.
Teranyar, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria ditunjuk sebagai komisaris utama atau Komut PT Indosat Tbk (ISAT) berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Rabu (28/5/2025).
Sementara, Wamenkomdigi Angga Raka Prabowo ditunjuk sebagai Komut PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk berdasarkan hasil RUPST pada Selasa (27/5/2025).
Dengan adanya pengangkatan 2 wamen menjadi komisaris ini menambah daftar panjang jajaran kabinet Prabowo-Gibran yang melakukan rangkap jabatan.
Kental Konflik Kepentingan, Segera Hentikan dan Segera Revisi Regulasinya
Lebih lanjut, Achmad juga mendesak agar regulasi terkait penunjukan komisaris BUMN segera direvisi, khususnya larangan bagi pejabat aktif untuk merangkap jabatan di perusahaan negara.
Selain itu, dia juga mendorong DPR dan lembaga pengawas, seperti KPK membentuk tim evaluasi independen yang secara berkala menilai kinerja dan potensi konflik kepentingan dari para komisaris yang berasal dari pejabat publik.
Melawan Putusan MK dan UU
Guru Besar Hukum Tata Negara sekaligus eks Menko Polhukam, Mahfud MD menilai praktik rangkap jabatan melanggar sejumlah aturan. Diantaranya yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 yang sudah diperbaharui dengan Undang-Undang tentang BUMN. Yakni pasal 15 B, 27B, 43D, 56B
Selain itu, Mahfud menyebut praktik rangkap jabatan juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menegaskan larangan untuk para pembantu Presiden untuk double job ini sudah tertuang jelas dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, meski larangan untuk wakil menteri tidak tertulis secara langsung.
"Ini kan menabrak banyak undang-undang. Wajar publik geram atau curiga. Diputusan MK saja jelas kok. Di dalam Undang-Undang Kementerian ada ketentuan bahwa menteri dilarang menjabat di BUMN, tetapi tidak ada penegasan wamen itu boleh enggak merangkap,” ujar Mahfud, dalam YouTube Mahfud MD Official, dikutip Rabu (4/6/2025).
“Menurut MK (larangan Wamen) ini enggak perlu diputuskan dalam sebuah amar karena bagi MK larangan yang melekat pada menteri melekat juga pada wakil menteri,” tambahnya.

Indikasi Korupsi Kuat Kala Rangkap Jabatan
Lebih lanjut, Mahfud berpendapat praktik rangkap jabatan menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang yang bisa memicu terjadinya korupsi.
"Nah rangkap jabatan ini memenuhi tiga unsur korupsi paling umum. Yakni memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan itu jelas terjadi pada yang mendapat dan membuat kebijakan," katanya.
Pembelaan Istana
Dilain pihak, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menegaskan tidak ada pelanggaran hukum dalam rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN.
Kata dia, penunjukan Wamen menjadi komisaris sudah melalui kajian aturan. Ia juga menegaskan bahwa ada perbedaan perlakuan dalam aturan antara jabatan menteri penuh dan wakil menteri.
"Sampai hari ini, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada pernyataan bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan. Itu clear. Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada. Jadi apa yang dilakukan hari ini tidak melanggar putusan MK,” tegas Hasan dalam konferensi pers, Selasa, 3 Juni 2025.

Hasan menyebut pihaknya menghormati kritik publik terhadap persoalan rangkap jabatan sejumlah wakil menteri ini. Ia pun mengaku tak masalah jika ada pihak yang mengajukan gugatan uji konstitusionalitas Putusan MK No 80/2019.
"Silahkan saja. Setiap warga memiliki hak konstitusional untuk mengajukan gugatan terhadap undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945," sambungnya.
UU Kementerian Digugat
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies Juhaidy Rizaldy Roringkon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi.
Dia meminta agar wakil menteri (wamen) dilarang merangkap jabatan.Juhaidy menguji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara lantaran merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
Adapun Pasal 23 UU Kementerian Negara tersebut berbunyi: "Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD."

Senada, perjuangan menggugat UU Kementerian juga dilakukan oleh Empat mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI).
Keempat mahasiswa itu adalah Stanley Vira Winata, Kaka Effelyn Melati Sukma, Keanu Leandro Pandya Rasyah dari Fakultas Hukum UI, serta Vito Jordan Ompusunggu dari Fakultas Ilmu Administrasi UI.
Mereka mempermasalahkan Pasal 23 huruf c dalam UU Kementerian karena dianggap membuka peluang menteri merangkap jabatan.
Gugatan ini didaftarkan pada 6 Maret 2025 dengan Nomor Perkara 35/PUU-XXIII/2025.
Prabowo Diminta Bersikap Tegas
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mendesak Presiden Prabowo Subianto bersikap tegas untuk menghentikan fenomena rangkap jabatan ini. Sebab ia menilai selama ini kepala negara itu bersikap permisif dan tidak menunjukkan taringnya.
"Tentu presiden harus bersikap dong. Ini banyak sekali yang double-double. Kalau presiden memang punya komitmen bahwa rangkap jabatan itu kental akan konflik kepentingan sehingga berdampak pada kinerja pemerintahan ya harus segera bersikap. Prabowo harus tegas melarang jajarannya rangkap jabatan," ucap Herdiansyah kepada KBR, Rabu (4/6/2025).
Herdiansyah juga menilai pemerintah telah salah dalam memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019. Hal itu kata dia yang menjadi faktor fenomena rangkap jabatan kian marak dilakukan. Padahal, Herdiansyah menyebut dalam putusan MK sudah diatur secara jelas larangan rangkap jabatan untuk menteri dan wakil menteri.
"Ini menurut saya cara berpikir pemerintah kacau, cacat ini. Putusan MK sudah melarang menteri rangkap jabatan. Logikanya saja seorang menteri dilarang ya wakilnya juga udah otomatis dong. pada hakikatnya Menteri dan wakil itu satu paket, sama-sama pejabat negara, sama-sama punya kedudukan dalam kementerian/lembaga, ya harusnya sama-sama dilarang ya. Jadi saya minta ini pemerintah jangan semau-maunya saja," imbuhnya.
Lebih lanjut Herdiansyah menduga praktik rangkap jabatan merupakan upaya bagi-bagi jabatan.

Deretan wakil menteri yang merangkap jabatan di berbagai perusahaan BUMN. yakni:
1.Wamen Komdigi Nezar Patria: Komut Indosat
2.Wamen Komdigi Angga Raka Prabowo: Komut Telkom Indonesia
3.Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo: Komisaris BRI
4.Wamen BUMN Aminuddin Ma'ruf: Komisaris PLN
5.Wamenkeu Suahasil Nazara: Wakil Komut PLN
6.Wamen Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim: Komisaris Telkom
7.Wamentan Sudaryono: Ketua Dewas Perum Bulog
8.Wamendag Dyah Roro Esti: Komut PT Sarinah
9.Wamen P2MI Christina Aryani: Komisaris PT Semen Indonesia
10.Wamenhan Donny Ermawan Taufanto: Komut PT Dahana
11.Wamensesneg Juri Ardiantoro: Komut PT Jasamarga
12.Wamendukbangga Isyana Bagoes Oka: Komisaris PT Dayamitra Telekomunikasi
13.Wamendes PDT Ahmad Riza Patria: Komisaris Telkomsel
14.Wamen LH Diaz Hendropriyono: Komut Telkomsel
15.Wamenkes Dante Saksono Harbuwono: Komisaris PT Pertamina Bina Medika IHC
16. Wamen ATR/BPN Ossy Dermawan: Komisaris Telkom
17.Wamen PKP Fahri Hamzah: Komisaris Bank BTN
18. Wamen Kelautan dan Perikanan Didit Herdiawan Ashaf: Komut PT Perikanan Indonesia
19.Wamen ESDM Yuliot Tanjung: Komisaris Bank Mandiri
20.Wamenhub Suntana: Komut PT Pelabuhan Indonesia
21.Wamen PU Diana Kusumastuti: Komut PT Brantas Abipraya
22.Wamen UMKM Helvi Yuni Moraza: Komisaris Bank BRI.
Baca juga:
- Gaduh Isu Reshuffle Kabinet, Siapa Saja Menteri yang Disorot?