Bagikan:

Perang Iran-Israel, Neraca Dagang Ekspor Impor RI Berpotensi Terganggu dan Dampak Luas Lainnya

"Kalau sekarang data ekspor kita Januari sampai April itu masih surplus dan masih naik sekitar 6 atau 5 persen. Jadi sementara belum ada dampak, mudah-mudahan perangnya cepat selesai," jelasnya

NASIONAL

Rabu, 25 Jun 2025 14:15 WIB

Author

Ken Fitriani

iran

Ilustrasi - Bendera Iran dan Israel. ANTARA/Shutterstock

KBR, Yogyakarta- Gencatan senjata antara Iran dan Israel mulai berlaku pada Selasa 24 Juni 2025 pukul 04.00 GMT (11:00 WIB). Gencatan dilakukan setelah belasan hari terjadi eskalasi konflik di mana Iran meluncurkan enam gelombang serangan rudal ke wilayah Israel.

Mengutip dari ANTARA, Militer Israel mengonfirmasi bahwa total 11 rudal ditembakkan dalam enam gelombang berturut-turut dari Iran menjelang dimulainya gencatan senjata.

Layanan medis darurat Israel melaporkan sedikitnya enam orang tewas dan 15 lainnya terluka -- beberapa di antaranya dalam kondisi kritis -- akibat sebuah roket yang menghantam bangunan permukiman di Kota Beersheba, Israel selatan.

Ledakan juga dilaporkan terjadi di Tel Aviv dan wilayah tengah Israel, menurut media setempat.

Media Iran juga mengonfirmasi dimulainya gencatan senjata, yang disebut mulai berlaku setelah “tembakan salvo terakhir” dari rudal mereka.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan telah menginstruksikan para menteri untuk tidak memberikan komentar publik terkait kesepakatan gencatan senjata tersebut.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengklaim sebelumnya telah mengumumkan dimulainya gencatan senjata, yang akan dilakukan secara bertahap, dimulai oleh Iran lebih dulu, kemudian disusul Israel 12 jam setelahnya. 

Media Israel menyebut bahwa Qatar berperan sebagai mediator dalam tercapainya kesepakatan ini.

Pemerintah Khawatir Ekspor-Impor RI Terganggu

Konflik geopolitik antara Iran dan Israel memicu kekhawatiran perdagangan global, termasuk Indonesia.

Meski saat ini dampaknya belum terlihat, namun pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan telah menyiapkan langkah antisipatif.

Menteri Perdagangan Budi Santosa mengatakan, salah satu langkah antisipatif yang akan dilakukan pemerintah adalah dengan membuka pasar perdagangan baru di sejumlah wilayah. Hal ini agar sektor perdagangan Indonesia tidak merugi di kuartal semester kedua.

"Kalau sekarang data ekspor kita Januari sampai April itu masih surplus dan masih naik sekitar 6 atau 5 persen. Jadi sementara belum ada dampak, mudah-mudahan perangnya cepat selesai," katanya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (20/6/2025).

Menteri Perdagangan Budi Santosa saat ditemui di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jumat (20/6/2025). (Foto : KBR/Ken).

Diungkapkan Budi, konflik yang terus memburuk berpotensi mengganggu stabilitas perdagangan internasional, termasuk rantai pasok logistik dan keamanan jalur distribusi barang.

Apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi perang tarif dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan konflik Rusia-Ukraina yang juga belum usai.

"Kita tentu berharap semua ini cepat selesai agar tidak berdampak luas ke perdagangan kita," jelasnya.

Mendag Budi menjelaskan, pemerintah juga sudah mengantisipasi dengan membuka pasar baru. Ia mengklaim telah menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA).

"Kemudian Eurasia, IA (Indonesia-Australia), IU (Indonesia-Uzbekistan) dan FDE (Foreign Disregarded Entity). Kemudian perundingan dengan Tunisia tinggal tanda tangan saja, kita tinggal nyari waktunya saja kapan bisa. Ini salah satu cara agar pasar kita lebih besar, akses kita lebih banyak," ungkapnya.

Jika Terus Berlanjut akan Timbulkan Ketegangan Geopolitik

Memanasnya ketegangan antara Iran dan Israel dalam beberapa waktu terakhir memicu kekhawatiran serius dari berbagai pihak.

Konflik ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan Timur Tengah, tetapi juga dinilai berpotensi mengguncang tatanan global dan memicu kembali polarisasi kekuatan dunia seperti yang terjadi pada era Perang Dingin.

Pakar Keamanan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Sugeng Riyanto mengatakan, konflik Iran dan Israel merupakan akumulasi dari persoalan substansial dan yuridis yang telah berlangsung lama. Menurutnya, konflik tersebut bukan semata reaksi spontan.

“Ada dua penyebab perang itu menurut saya. Pertama, sebab-sebab ke arah hukum. Kedua lebih bersifat substansial. Sebab yang ke arah hukum saya rasa karena proses hukum, proses perundingan ke arah dua belah pihak tentang pengembangan energi nuklir di Iran itu mengalami stalemate atau deadlock atau jalan buntu, terjadilah serangan terbuka Israel kemarin itu," katanya saat ditemui di UMY, Rabu (18/6/2025).

Pakar Keamanan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) , Sugeng Riyanto. (Foto : Humas UMY).

Israel Khawatir Jika Iran Berhasil Kembangkan Nuklir menjadi Bom Atom

Sementara untuk sebab substansial, Sugeng menilai ada kekhawatiran dari Israel atas pengembangan energi nuklir di Iran.

Diketahui, Iran sudah berhasil melakukan pengayaan nuklir mencapai lebih dari 50 persen. Jika nantinya pengayaan nuklir tersebut sudah mencapai 90 persen, maka kemudian bisa dikonversikan menjadi bom atom.

"Nah saya pikir salah satu ketakutan luar biasa bagi Israel adalah kalau salah satu rivalnya itu mempunyai bom atom. Kita bisa membayangkan kalau dihadapan Israel itu ada Iran yang dia punya bom atom yang berhadapan secara konfrontal itu sangat membahayakan sekali,” jelasnya.

“Israel secara geografis itu tidak besar. Makanya sekuat mungkin sebelum Iran berkembang sedemikian rupa Israel itu mrncobs mencegah agar Iran tidak berkembang," tambahnya.

Lebih lanjut, Sugeng menyebut bahwa konflik ini memiliki akar panjang yang bermula sejak berdirinya Israel pada 1948. Konflik tersebut semakin memamanas melalui dinamika konflik Arab - Israel selama beberapa dekade terakhiir.

Terkait potensi meluasnya konflik, Sugeng menyebut bahwa saat ini justru beberapa negara Arab memiliki hubungan yang relatif harmonis dengan Israel. Respons keras terhadap Iran lebih banyak datang dari negara-negara non-Arab seperti Korea Utara dan Pakistan.

“Mesir bahkan menjadi salah satu mitra dagang terbesar Israel. Suriah dan Yordania pun kini menunjukkan sikap yang lebih moderat,” jelasnya.

Namun, satu hal yang sangat dikhawatirkan adalah jika Iran memutuskan keluar dari Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Langkah ini akan menjadi sinyal kuat bahwa Iran serius menuju status negara bersenjata nuklir.

“Jika Iran benar-benar keluar dari NPT, maka kekhawatiran internasional akan kian menguat. Dunia akan melihat itu sebagai indikasi jelas arah kebijakan nuklir Iran,” imbuhnya.

Ilustrasi reaktor nuklir Iran. Foto: ANTARA/ File Anadolu Agency)

Dampak Ekonomi Skala Internasional

Sugeng juga menekankan bahwa dampak konflik ini tidak hanya bersifat jangka pendek. Dalam waktu dekat, gangguan paling nyata adalah pada sektor ekonomi, terutama distribusi minyak dari kawasan Teluk Persia. Selain itu, penyelenggaraan berbagai ajang olahraga internasional di Timur Tengah juga bisa terdampak karena alasan keamanan.

Sementara dalam jangka panjang, Sugeng mengingatkan bahwa konflik ini bisa menciptakan kubu-kubu kekuatan global yang mengingatkan pada masa Perang Dingin.

“Akan terbentuk blok pro-Israel dan blok pro-Iran. Polarisasi ini sangat berbahaya karena dapat menghambat perkembangan tatanan dunia multipolar yang kini tengah tumbuh,” ujarnya.

Untuk mencegah eskalasi lebih lanjut, Sugeng menyerukan pentingnya peran aktif negara-negara besar.

“Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, dan India harus mengambil langkah strategis dalam meredam konflik. Pendekatan moderat dan diplomatik dari seluruh pihak adalah kunci pengendalian situasi,” tegasnya.

Sugeng juga mengingatkan akan bahaya laten senjata nuklir yang meskipun baru dua kali digunakan dalam sejarah, tetap menjadi ancaman besar bagi peradaban.

“Jika salah satu pihak terdesak, bukan tidak mungkin seluruh kekuatan, termasuk senjata pemusnah massal, akan dikerahkan. Ini yang perlu dicegah,” tandas Sugeng.

Asap mengepul dampak dari serangan rudal Iran di Tel Aviv, Israel (13/6/2025). Menurut Pasukan Pertahanan Israel (IDF) puluhan rudal ditembakkan dari Iran ke Israel pada Jumat (13/6) malam. (ANTARA FOTO/JINI via Xinhua/Gideon Markowicz

Imbas Perang Iran-Israel terhadap Indonesia

Terpisah, Kepala Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, Jozef Hehanusa menambahkan, konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang terus memanas memiliki potensi besar mengguncang stabilitas global, termasuk sektor ekonomi dunia.

"Kalau saya secara pribadi ini lebih hanya sekedar politik karena ini kan berkaitan dengan show of power, kekuasaan, dan lebih pada arogansi-arogansi pimpinan atau pemimpin, terutama pemimpin negara yang tidak bisa duduk bersama dan menyelesaikan masalah itu bersama-sama," jelasnya di sela peluncuran Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian di UKDW Yogyakarta, Selasa (17/6/2025).

Menurut Hehanusa, dampak konflik tersebut tidak hanya dirasakan di Israel dan Iran maupun negara di sekitarnya. Namun dampak ini juga berpotensi sampai ke negara Asia, termasuk Indonesia.

Ia menyebut, peran Indonesia sebagai negara dengan posisi strategis dan sejarah panjang dalam politik bebas aktif sangat penting di tengah ketegangan dua negara di Timur Tengah tersebut.

"Konflik yang awalnya bersifat regional bisa berdampak sistemik pada rantai pasok global, harga energi, dan kestabilan ekonomi nasional," jelasnya.

Potensi Krisis dan Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia 

Dicontohkan Hehanusa, dampak nyata dari konflik global sebelumnya seperti perang Rusia - Ukraina beberapa waktu lalu menyebabkan lonjakan harga BBM dan pangan.

Bahkan krisis serupa juga sangat mungkin terjadi jika ketegangan Iran - Israel terus meningkat, mengingat keduanya merupakan pemain besar dalam pasar minyak dunia.

"Ketika Rusia dan Ukraina berkonflik, kita langsung kena imbasnya. Harga energi naik, distribusi terganggu. Konflik Iran-Israel bisa jauh lebih besar dampaknya karena menyangkut Selat Hormuz yang menjadi jalur utama distribusi minyak dunia," ungkapnya.

Kapal patroli Angkatan Laut Kerajaan Inggris berjaga di sekitar kapal tanker minyak Iran Grace 1 yang berlabuh setelah disita oleh Marinir Kerajaan Inggris awal bulan ini di tengah perairan Mediterania Inggris atas dugaan pelanggaran sanksi terhadap Suriah, di Selat Gibraltar, selatan Spanyol, Sabtu (20/7/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Jon Nazca

Lebih lanjut, Hehanusa menjelaskan, selain seruan gencatan senjata secara tetap, pemerintah Indonesia paling tidak mendorong adanya dialog damai atau ajakan untuk duduk bersama dan membicarakan persoalan secara baik. Sebab jika ini dibiarkan, maka akan terus menimbulkan dampak global..

"Dalam konteks ini Indonesia tidak boleh bersifat netral pasif. Presiden Prabowo segera mungkin menyampaikan sikap resmi melalui forum internasional seperti ASEAN atau PBB, setidaknya dengan mengimbau semua pihak untuk duduk bersama dan mengupayakan jalan damai," ungkapnya.

"Seruan gencatan senjata itu penting, tapi lebih penting lagi adalah membuka ruang dialog damai. Presiden Prabowo bisa memposisikan Indonesia sebagai mediator yang kredibel. Kita punya sejarah panjang sebagai penyeru perdamaian," imbuh Hehanusa.

Potensi Polarisasi dari Perang Iran-Israel

Hehanusa juga mengingatkan bahwa eskalasi konflik Timur Tengah sering kali berimbas pada munculnya polarisasi di dalam negeri, baik dari sisi sosial-politik maupun ekonomi.

Misalnya, kata dia, kampanye boikot produk kerap kali berdampak pada pelaku usaha lokal dan pemutusan hubungan kerja.

"Selain dampak ekonomi, konflik juga menimbulkan ancaman terhadap stabilitas sosial. Apalagi jika narasi-narasi kebencian tidak dikelola dengan baik. Ketika masyarakat menanggapi konflik dengan reaksi emosional seperti boikot masif terhadap produk tertentu, yang terdampak justru tenaga kerja di dalam negeri,” tuturnya.

“Ini efek domino yang seharusnya bisa diantisipasi lewat kepemimpinan diplomatik,"imbuhnya.

Hehanusa mengakatakan, PSPP juga mendorong peran aktif banyak pihak dalam menyebarkan perspektif damai. Sebab saat ini kesempatan Indonesia untuk tampil sebagai kekuatan moral dan diplomatik sangat terbuka, apalagi di era kepemimpinan baru.

"Kita berharap Presiden Prabowo menggunakan momen ini untuk menunjukkan kepemimpinan global, bukan dengan kekuatan militer, tapi dengan suara damai yang mampu menjembatani perbedaan,” jelas Hehanusa.

“Dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang berani bicara damai, bukan justru menambah bara," tukasnya.

Arsip foto - Petugas penyelamat mencari warga pada bangunan yang rusak akibat serangan udara Israel di Teheran, Iran (13/6/2025). ANTARA/Xinhua/Stringer

Peran Teknologi untuk Ciptakan Perdamaian

Kepala Center of Immersive Technology and Creative Innovation (Citaci) UKDW Yogyakarta, Antonius Rachmat mengatakan, peran teknologi dalam menciptakan perdamaian dunia kian mendapat perhatian. Hal ini bisa dilihat salah satunya melalui pengembangan metaverse dan simulasi game berbasis virtual reality (VR).

Rachmat menyebut, teknologi simulatif kini mulai diarahkan untuk memetakan dan menyelesaikan konflik secara imersif, sekaligus membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya dialog dan empati antar bangsa.

"Jadi salah satunya adalah bagaimana menciptakan simulasi game konflik. Jadi misalnya ada kasus seperti ini pengguna atau pemain game itu bisa: ‘Kalau saya dalam situasi seperti ini, saya harus apa?’ Nah itu dalam bentuk simulasi, game simulasi," katanya di UKDW Yogyakarta, Selasa (17/6/2025).

Rachmat menilai, saat ini teknologi VR dipilih karena kemudahannya. Namun, visi jangka panjang dari proyek ini jauh lebih ambisius yakni menciptakan simulasi yang mampu menangkap kompleksitas emosi, budaya, hingga dinamika geopolitik melalui metafora digital yang merupakan bagian dari ekosistem metaverse yang lebih luas.

"Harapannya bukan hanya VR, tapi bisa sampai ke level metafora. Tapi untuk itu, kita butuh ekosistem yang kuat. Sekarang kami bekerja sama dengan Mango, platform dari Thailand, untuk membangun itu," jelasnya.

Dijelaskan Rachmat, melalui kolaborasi dengan Mango saat ini pengembang Indonesia tengah menyusun sistem simulasi yang memungkinkan pengguna dari berbagai belahan dunia untuk mencoba masuk ke dalam narasi konflik.

"Bahkan bisa menjadi aktor damai, dan mengalami konsekuensi pilihan mereka secara langsung melalui sebuah metode edukatif yang diyakini lebih efektif dibanding teori-teori konvensional," ungkapnya.

Penggunaan metaverse dalam upaya perdamaian ini, lanjut Rachmat, bisa menciptakan ruang interaktif bagi masyarakat global untuk memahami perspektif pihak lain. Dengan memfasilitasi pengalaman yang imersif dalam konflik dan resolusinya, teknologi ini tidak hanya menjembatani pemahaman lintas budaya.

"Tapi juga membangun empati, toleransi, dan keinginan untuk mencari solusi tanpa kekerasan," imbuhnya.

Baca juga:

Jokowi: RI Kutuk Serangan Israel ke Lebanon!

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending