Bagikan:

Vaksin Palsu, BPOM: Pembelian via Freelance

"Ada penyedia fasilitas kesehatan yang membeli vaksin bukan dari jalur resminya,"

BERITA | NASIONAL

Senin, 27 Jun 2016 15:51 WIB

Vaksin Palsu, BPOM: Pembelian via Freelance

Ilustrasi (sumber: CC Wikikow)

KBR, Jakarta- Badan Pengawas Obat dan Makanan mengatakan peredaran vaksin palsu akibat adanya penyedia fasilitas kesehatan yang membeli vaksin dari jalur ilegal. Pelaksana Tugas Kepala BPOM, Tengku Bahdar, mengaku sulit bagi BPOM mengawasi setiap klinik.

Tengku  menampik jika BPOM selama ini membiarkan peredaran vaksin palsu.

"Itu kan memang ada yang jahat, oknum yang memasukkannya. Sedangkan kebetulan ada pihak-pihak yang membuka kesempatan untuk itu masuk. Ada penyedia fasilitas kesehatan yang membeli vaksin bukan dari jalur resminya," ujar Bahdar, Senin (27/3/2016).

Ia melanjutkan, "itu mereka melakukan pembelian di jalur penjual yang mereka sebut freelance. Freelance itu jadi ga ada induknya."

Pelaksana Tugas Kepala BPOM, Tengku Bahdar memastikan kebanyakan pengadaan obat di rumah sakit besar diatur oleh Dinas Kesehatan. Vaksin yang didistribusi dari Kementerian Kesehatan dipastikan sudah lolos dari pengawasan.

"Kita sebenernya pengawasannya termasuk produk obat yang paling beresiko. Pengawasannya lebih ketat daripada obat, jadi dia selain daripada playmarket-nya kita awasi, evaluasi keamanan mutu dan manfaatnya juga. Kita lakukan pemeriksaan setiap nomor batch yg diproduksi. Tanpa itu ga bisa keluar ke pasaran."

Untuk vaksin import, Bahdar mengaku BPOM sudah melakukan uji coba kepada setiap produk impornya. Menurut Bahdar, standar pengawasan vaksin sudah lebih ketat dari obat biasa.

"Kan beli obat dalam jumlah besar ada PO-nya (purchase order). Ini gak ada(penjual ilegal). PO itu harus dari distributor resmi. Ini yang palsu beredar ini pedagang asongan. Dipastikan tidak ada dari distributor resmi. Kalau resmi Biofarma bisa sendiri, pengadaan diatur pemerintah, bisa melalui IGM, Merapi. Kalau Sanofi melalui ATL."

Karena itu Bahdar mengklaim pelanggaran di tingkat rumah sakit kemungkinan  kecil sekali. Ia juga menbantah jika BPOM mengabaikan peredaran vaksin palsu ini. Sebelumnya dikabarkan peredaran vaksin palsu ini sudah terjadi sejak 2003.

"Lain-lain kasusnya, dari 2003 sampai 2008, jadi sporadis. Ada yg sudah ada izin edarnya sudah habis tapi dia jual, itu pun sedikit.  Kita tangkap ke Kepolisian. Ada yang tidak ada izinnya tapi dia jualan. Di 2015 sudah ada yg ketangkap satu."


RSUD

Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia Arsada menyebut distribusi vaksin dasar imunisasi di RSUD disalurkan dari Kementerian Kesehatan secara gratis. Sehingga, kata Ketua Umum Arsada Heru Ariyadi, kecil kemungkinan vaksin palsu masuk. Dia mengatakan semua kebutuhan vaksin yang menjadi program pemerintah dijamin terpenuhi.

"Itu merupakan program, dan Bu Menkes juga sudah bilang, semua yang ada di fasilitas pemerintah menggunakan vaksin yang diberi Kemenkes, dan itu dibeli lewat jalur resmi. Semua RS pemerintah vaksinnya gratis jadi kita tidak beli," kata Heru kepada KBR, Senin (27/6/2016).

Heru menambahkan selama ini vaksin yang dipalsukan merupakan vaksin mahal yang kemudian dijual murah.

"Yang dipalsukan itu adalah vaksin-vaksin mahal harganya. kalau memalsukan barang yang murah harganya itu merugikan pembuatnya," katanya.

Sebelumnya, dari hasil penggeledahan polisi disebutkan pelaku, khususnya kelompok produsen, kebanyakan merupakan lulusan sekolah apoteker. Namun, mereka tidak menerapkan standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dalam memproduksi vaksin itu. Misalnya, cairan yang mereka gunakan sama sekali bukanlah cairan yang seharusnya menjadi bahan baku vaksin.

Para pelaku menggunakan cairan antitetanus dicampur dengan cairan infus sebagai bahan dasar vaksin palsu tersebut. Campuran itu akhirnya dimasukan ke dalam botol bekas. Setelah itu dikemas, dan diberikan label palsu. Pembuatan vaksin juga tidak dilakukan di laboratorium, tetapi dilakukan di sebuah gudang yang dipakai untuk tempat peracikan vaksin.


Hingga saat ini, Bareskrim Polri telah menetapkan 15 tersangka dalam kasus pembuatan dan penyebaran vaksin palsu ini. Para tersangka dikenakan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Selain itu, semua tersangka juga dikenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 


Editor: Rony Sitanggang

Kirim pesan ke kami

Whatsapp
Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Kabar Baru Jam 7

Strategi Perempuan Pengemudi Ojol Mengatasi Cuaca Ekstrem (Bag.4)

Arab Saudi Bangun Taman Hiburan Bertema Minyak di Tengah Laut

Menguji Gagasan Pangan Cawapres

Mahfud MD akan Mundur dari Menkopolhukam, Jokowi: Saya Sangat Hargai

Most Popular / Trending